Get Gifs at CodemySpace.com

Jumat, 20 April 2012

Gambar Pola 17+


BK POLA 17 PLUS, SEJARAH BIMBINGAN DAN KONSELING DAN LAHIRNYA BK 17 PLUS

Pendahuluan
Sejarah lahirnya Bimbingan dan Konseling di Indonesia diawali dari dimasukkannya Bimbingan dan Konseling (dulunya Bimbingan dan Penyuluhan) pada setting sekolah. Pemikiran ini diawali sejak tahun 1960. Hal ini merupakan salah satu hasil Konferensi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (disingkat FKIP, yang kemudian menjadi IKIP) di Malang tanggal 20 – 24 Agustus 1960. Perkembangan berikutnya tahun 1964 IKIP Bandung dan IKIP Malang mendirikan jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Tahun 1971 beridiri Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP) pada delapan IKIP yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Yogyakarta, IKIP Semarang, IKIP Surabaya, IKIP Malang, dan IKIP Menado. Melalui proyek ini Bimbingan dan Penyuluhan dikembangkan, juga berhasil disusun “Pola Dasar Rencana dan Pengembangan Bimbingan dan Penyuluhan “pada PPSP. Lahirnya Kurikulum 1975 untuk Sekolah Menengah Atas didalamnya memuat Pedoman Bimbingan dan Penyuluhan.

Tahun 1978 diselenggarakan program PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP (setingkat D2 atau D3) untuk mengisi jabatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah yang sampai saat itu belum ada jatah pengangkatan guru BP dari tamatan S1 Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan. Pengangkatan Guru Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah mulai diadakan sejak adanya PGSLP dan PGSLA Bimbingan dan Penyuluhan. Keberadaan Bimbingan dan Penyuluhan secara legal formal diakui tahun 1989 dengan lahirnya SK Menpan No 026/Menp an/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di dalam Kepmen tersebut ditetapkan secara resmi adanya kegiatan pelayanan bimbingan dan penyuluhan di sekolah. Akan tetapi pelaksanaan di sekolah masih belum jelas seperti pemikiran awal untuk mendukung misi sekolah dan membantu peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan mereka.Sampai tahun 1993 pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas, parahnya lagi pengguna terutama orang tua murid berpandangan kurang bersahabat dengan BP.

Muncul anggapan bahwa anak yang ke BP identik dengan anak yang bermasalah, kalau orang tua murid diundang ke sekolah oleh guru BP dibenak orang tua terpikir bahwa anaknya di sekolah mesti bermasalah atau ada masalah. Hingga lahirnya SK Menpan No. 83/1993 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya yang di dalamnya termuat aturan tentang Bimbingan dan Konseling di sekolah. Ketentuan pokok dalam SK Menpan itu dijabarkan lebih lanjut melalui SK Mendikbud No 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya. Di Dalam SK Mendikbud ini istilah Bimbingan dan Penyuluhan diganti menjadi Bimbingan dan Konseling di sekolah dan dilaksanakan oleh Guru Pembimbing. Di sinilah pola pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di sekolah mulai jelas.

Pra Lahirnya Pola 17
Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan berdampak pada buruknya citra bimbingan dan konseling, sehingga melahirkan miskonsepsi terhadap pelaksanaan BK, munculnya persepsi negatif terhadap pelaksanaan BK, berbagai kritikan muncul sebagai wujud kekecewaan atas kinerja Guru Pembimbing sehingga terjadi kesalahpahaman, persepsi negatif dan miskonsepsi berlarut. Masalah menggejala diantaranya: konselor sekolah dianggap polisi sekolah, BK dianggap semata-mata sebagai pemberian nasehat, BK dibatasi pada menangani masalah yang insidental, BK dibatasi untuk klien-klien tertentu saja, BK melayani ”orang sakit” dan atau ”kurang normal”, BK bekerja sendiri, konselor sekolah harus aktif sementara pihak lain pasif, adanya anggapan bahwa pekerjaan BK dapat dilakukan oleh siapa saja, pelayanan BK berpusat pada keluhan pertama saja, menganggap hasil pekerjaan BK harus segera dilihat, menyamaratakan cara pemecahan masalah bagi semua klien, memusatkan usaha BK pada penggunaan instrumentasi BK (tes, inventori, kuesioner dan lain-lain) dan BK dibatasi untuk menangani masalah-masalah yang ringan saja.

Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah diselenggarakan dengan pola yang tidak jelas, ketidak jelasan pola yang harus diterapkan disebabkan diantaranya oleh hal-hal sebagai berikut :

1. Belum adanya hukum
Sejak Konferensi di Malang tahun 1960 sampai dengan munculnya Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan di IKIP Bandung dan IKIP Malang tahun 1964, fokus pemikiran adalah mendesain pendidikan untuk mencetak tenaga-tenaga BP di sekolah. Tahun 1975 Konvensi Nasional Bimbingan I di Malang berhasil menelurkan keputusan penting diantaranya terbentuknya Organisasi bimbingan dengan nama Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI). Melalui IPBI inilah kelak yang akan berjuang untuk memperolah Payung hukum pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah menjadi jelas arah kegiatannya.

2. Semangat luar biasa untuk melaksanakan
BP di sekolah Lahirnya SK Menpan No. 026/Menpan/1989 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Guru dalam lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Merupakan angin segar pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah. Semangat yang luar biasa untuk melaksanakan ini karena di sana dikatakan “Tugas guru adalah mengajar dan/atau membimbing.” Penafsiran pelaksanaan ini di sekolah dan didukung tenaga atau guru pembimbing yang berasal dari lulusan Jurusan Bimbingan dan Penyuluhan atau Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan (sejak tahun 1984/1985) masih kurang, menjadikan pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah tidak jelas. Lebih-lebih lagi dilaksanakan oleh guru-guru yang ditugasi sekolah berasal dari guru yang senior atau mau pensiun, guru yang kekurangan jam mata pelajaran untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Pengakuan legal dengan SK Menpan tersebut menjadi jauh arahnya terutama untuk pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan di sekolah.

3. Belum ada aturan main yang jelas
Apa, mengapa, untuk apa, bagaimana, kepada siapa, oleh siapa, kapan dan di mana pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan dilaksanakan juga belum jelas. Oleh siapa bimbingan dan penyuluhan dilaksanakan, di sekolah banyak terjadi diberikan kepada guru-guru senior, guru-guru yang mau pensiun, guru mata pelajaran yang kurang jam mengajarnya untuk memenuhi tuntutan angka kreditnya. Guru-guru ini jelas sebagian besar tidak menguasai dan memang tidak dipersiapkan untuk menjadi Guru Pembimbing. Kesan yang tertangkap di masyarakat terutama orang tua murid Bimbingan Penyuluhan tugasnya menyelesaikan anak yang bermasalah. Sehingga ketika orang tua dipanggil ke sekolah apalagi yang memanggil Guru Pembimbing, orang tua menjadi malu, dan dari rumah sudah berpikir ada apa dengan anaknya, bermasalah atau mempunyai masalah apakah. Dari segi pengawasan, juga belum jelas arah dan pelaksanaan pengawasannya. Selain itu dengan pola yang tidak jelas tersebut mengakibatkan:

  1. Guru BP (sekarang Konselor Sekolah) belum mampu mengoptimalisasikan tugas dan fungsinya dalam memberikan pelayanan terhadap siswa yang menjadi tanggung jawabnya. Yang terjadi malah guru pembimbing ditugasi mengajarkan salah satu mata pelajaran seperti Bahasa Indonesia, Kesenian, dsb.

  1. Guru Pembimbing merangkap pustakawan, pengumpul dan pengolah nilai siswa dalam kelas-kelas tertentu serta berfungsi sebagai guru piket dan guru pengganti bagi guru mata pelajaran yang berhalangan hadir.


  1. Guru Pembimbing ditugasi sebagai “polisi sekolah” yang mengurusi dan menghakimi para siswa yang tidak mematuhi peraturan sekolah seperti terlambat masuk, tidak memakai pakaian seragam atau baju yang dikeluarkan dari celana atau rok.

  1. Kepala Sekolah tidak mampu melakukan pengawasan, karena tidak memahami program pelayanan serta belum mampu memfasilitasi kegiatan layanan bimbingan di sekolahnya.


  1. Terjadi persepsi dan pandangan yang keliru dari personil sekolah terhadap tugas dan fungsi guru pembimbing, sehingga tidak terjalin kerja sama sebagaimana yang diharapkan dalam organisasi bimbingan dan konseling.Kondisi-kondisi seperti di atas, nyaris terjadi pada setiap sekolah di Indonesia.

Lahirnya Pola 17
SK Mendikbud No. 025/1995 sebagai petunjuk pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya terdapat hal-hal yang substansial, khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling adalah : 1. Istilah “bimbingan dan penyuluhan” secara resmi diganti menjadi “bimbingan dan konseling.” 2. Pelaksana bimbingan dan konseling di sekolah adalah guru pembimbing, yaitu guru yang secara khusus ditugasi untuk itu. Dengan demikian bimbingan dan konseling tidak dilaksanakan oleh semua guru atau sembarang guru. 3. Guru yang diangkat atau ditugasi untuk melaksanakan kegiatan bimbingan dan konseling adalah mereka yang berkemampuan melaksanakan kegiatan tersebut; minimum mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam. 4. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan dengan pola yang jelas : a. Pengertian, tujuan, fungsi, prinsip dan asas-asasnya. b. Bidang bimbingan : bimbingan pribadi, sosial, belajar dan karir c. Jenis layanan : layanan orientasi, informasi, penempatan/penyaluran, pembelajaran, konseling perorangan, bimbingan kelompok dan konseling kelompok.d. Kegiatan pendukung : instrumentasi, himpunan data, konferensi kasus, kunjungan rumah dan alih tangan kasus. Unsur-unsur di atas (nomor 4) membentuk apa yang kemudian disebut “BK Pola-17” 5. Setiap kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan melalui tahap :a. Perencanaan kegiatan, b. Pelaksanaan kegiatan, c. Penilaian hasil kegiatan.

Analisis hasil penilaian. Tindak lanjut 6. Kegiatan bimbingan dan konseling dilaksanakan di dalam dan di luar jam kerja sekolah. Hal-hal yang substansial di atas diharapkan dapat mengubah kondisi tidak jelas yang sudah lama berlangsung sebelumnya. Langkah konkrit diupayakan seperti :1. Pengangkatan guru pembimbing yang berlatar belakang pendidikan bimbingan dan konseling.2. Penataran guru-guru pembimbing tingkat nasional, regional dan lokal mulai dilaksanakan.3. Penyususnan pedoman kegiatan bimbingan dan konseling di sekolah, seperti :a. Buku teks bimbingan dan konseling, b. Buku panduan pelaksanaan menyeluruh bimbingan dan konseling di sekolah, c. Panduan penyusunan program bimbingan dan konseling, d. Panduan penilaian hasil layanan bimbingan dan konseling. Panduan pengelolaan bimbingan dan konseling di sekolah 4. Pengembangan instrumen bimbingan dan konseling 5. Penyusunan pedoman.

Musyawarah Guru Pembimbing (MGP) Dengan SK Mendikbud No 025/1995 khususnya yang menyangkut bimbingan dan konseling sekarang menjadi jelas : istilah yang digunakan bimbingan dan konseling, pelaksananya guru pembimbing atau guru yang sudah mengikuti penataran bimbingan dan konseling selama 180 jam, kegiatannya dengan BK Pola-17, pelaksanaan kegiatan melalui tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian, analisis penilaian dan tindak lanjut. Pelaksanaan kegiatan bisa di dalam dan luar jam kerja. Peningkatan profesionalisme guru pembimbing melalui Musyawarah Guru Pembimbing, dan guru pembimbing juga bisa mendapatkan buku teks dan buku panduan.

Sumber : http://fkbkindonesia.blogspot.com/2012/03/bk-pola-17-plus.html

KONSELING MULTIKULTURAL

Bab I
PENDAHULUAN

A.     Latar belakang
     Salah satu karakteristik dari dunia  “postmodern” adalah nilai penting kultural. Pada masa lalu, sangat dimungkinkan untuk hidup sebagai anggota dari kelas atau kelompok kelas social yang relative terisolasi, dan tetap kurang menyadari akan, dan terpengaruh oleh, eksistensi bentuk kehidupan lainnya. Anggota kelompok yang disebut “ minoritas etnis” semakin menolak untu diberlakukan sebagai kelompok yang dipinggirkan, diacuhkan, dan kekuatan pekerja yang tidak memilki hak politik dan mereka mengklaim suara dan kekuatan mereka dalam masyarakat.

B.     Rumusan masalah
1)      Apakah yang dinamakan konseling multikultural?
2)      Bagaimanakah asal-usulnya?
3)      Apa saja aspek-aspeknya?

C.  Tujuan Masalah
1)      Menguraikan definisi konseling multikultural,
2)      Menjelaskan asal-usulnya,
3)      Memaparkan aspek-aspek yang tergolong kedalamnya,


Bab II
PEMBAHASAN



KONSELING MULTIKULTURAL

A.     Definisi Konseling Multikultural

Definisi luas dari “multikulturalisme” istilah mencakup berbagai macam variabel sosial atau perbedaan. Pendidikan multikultural adalah gagasan yang menyebutkan bahwa semua siswa, tanpa peduli dalam kelompok manapun mereka masuk, seperti kelompok yang terkait dengan jender, suku bangsa, ras, budaya, kelas sosial, agama atau pengucilan, seharusnya mengalami kesetaraan pendidikan disekolah.[1] Penelitian menunjuk kan bahwa klien dari kelompok minoritas etnis adalah yang paling mungkin untuk memanfaatkan layanan konseling. Satu penjelasan untuk hal itu adalah kegitan etnosentris, berdasarkanilai-nilai kelas menengah putih, suatu pendekatan yang dapat menjauhkan orang dari budaya lain. Pendekatan multikultural untuk konseling tantangan asumsi bahwa salah satu gaya wawancara dapat di alihkan kepada semua klien. Bagian ini membahas teori konseling miltikultural, definisi, dan modal multikulturalisme, menyoroti implikasi ini telah di bagi praktis, bimbingan teori konseling multikultural dan terapi. Sebagian besar karir konseling dan bimbingan praktis siap mengakui bahwa setiap klien adalah unik, dan bahwa individu harus di terima dan di hormati.

Ada hal penting bagi kita untuk tidak menyederhanakan konsep multikultural. Pada tingkatan tertentu, culture dapat dipahami sebagai “cara hidup sesorang atau sekelompok orang“. Dalam setiap usaha memahami kata “kultur” merupakan keharusan untuk menggunakan kontribusi yang dibuat oleh disiplin keilmuan sosial yang khusus mendeskripsikan serta memberikan pemahaman terhadap berbagai kultur yang berbeda, yaitu antropologi sosial. Tradisi riset antropolgi sosial selalu mengambil pandangan yang meyatakan bahwa bersikap adil terhadap kompleksitas sebuah kultur hanya dimungkinkan dengan hidup didalamnya selama waktu tertentu, dan melaksanakan serangakaian observasi  sistematik dan seksama terhadap cara anggota kultur tersebut membangun dunia yang mereka kenal melalui cara seperti hubungan darah, ritual, mitologi, dan bahasa,. Dalam bahasa Clifford Geertz, antropolog paling tertanam saat ini, kultur dapat dipahami sebagai: Pola makna yang tertanam dalam sinbol dan transmisikan secara historis, sebuah sistem konsepsi turunan yang diekspresikan dalam bentuk simbolik yang digunakan (orang-orang) untuk berkomunikasi, bertahan hidup, dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang hidup dan sikap terhadapnya.

Diantara karakteristik identitas kultural terpenting dalam area keyakinan dan asumsi tang mendasarinya adalah:
Ø  Bagaiman realitas dipahami, misalnya dualistik atau holistik:
Ø  Konsep diri (otonom, terikat, referensi versus sosial, terdistribusi, indeksikal);
Ø  Rasa moral (misalnya pilihan dengan takdir, nilai);
Ø  Konsep waktu(liniear, tersegmentasi, berorientasi ke masa depan, menghormati yang tua);
Ø  Perasaan akan tanah air, lingkungan, tempat.

Diantara dimensi terpenting interpersonal dan kehidupan sosial yang dapat diamati secara eksternal adalah:

Ø  Prilaku noverbal (kontak mata, jarak, gerakan tubuh, sentuhan);
Ø  Penggunaan bahasa (misalnya reflektif versus analitis deskriptif; linearitas cerita);
Ø  Pola hubungan darah dan huibungan antar sesame (hubungan mana yang paling penting?);
Ø  Hubun gan gender;
Ø  Ekspresi emosi;
Ø  Peran penyembuh dan teori penyembuhan.

Bagai para konselor multikultural, karakteristik ini merepresentasikan jenis “checklist” mental yang dapat digunakan untuk mengeksplorasi dunia si klien, dan untuk membangun sebuah dunia klien-konselor yang bersifat mutual dan saling membantu.[2]

B.     Asal-Usul Dan Relevansi Konseling Multikultural

Bimrose (1996-p238) menelusuri asal-usul multicultural konseling untuk gerakan hak Sipil di Amerika di pertengan tahun 1970-an. Pada saat ini, pertanyaan di tanya tentang sekelompok orang yang tidak pernah konseling, atau jika mereka datang untuk sesi pertama, tidak kembali. Pola yang jelas muncul. Klien dari kelompok minoritas etnis yang paling mungkin untuk meminta dan bertahan dengan konseling.

Penjelasan yang paling banyak diterima adalah bahwa konseling (dan  pedoman) paraktek merupakan kegiatan etnosentris. Beberapa ahli berpendapat bahwa pendekatan arus utama putih, kegiatan kelas menengah yang beroperasi dengan nilai-nilai khas banyak dan asumsi. Misalnya, bahwa klien di masa yang akan datang dan tindakan yang berorientasi. Pendekatan tersebut etnosentris atau budaya dekemas (Wrenn 1985). Di pusat mereka memegang gagasan normalitas berasal dari budaya kulit putih, yang tidak relevan dengan banyak klien dan memiliki potensi untuk menjauhkan mereka.

Penjelasan tentang mengapa klien etnis yang berbeda menemukan mainsteam konseling tidak membantu memiliki relevansi sama dengan perbedaan klien lain seperti jenis kelamin, preferensi seksual dan cacat. Pesan utama untuk beragam kelompok klien.

C.     Aspek Kultural Dasar

a)      Konsep realitas
       Pada level paling dasar dari pemahaman dan kemampuan untuk memahami, orang-orang daru kultur yang berbeda memiliki ide yang berbeda mengenai tabiat dasar dari realitas. Dalam kultur barat, orang-orang menganut pandangan terhadap realitas yang bersifat dualistic, membagi dunai dalam dua tipe entitas: jiwa dan tubuh. Jiwa tak tercecap indera, terdiri dari ide, konsep, dan pikiran. Sebaliknya tubuh bersifat nyata, dapat diamati dan berkembang dalam ruang. Dalam terminologi hubungan dualisme berdampak pada peningkatan dan pemisahan antara diri dan objek, atau diri dan yang lain. “Diri” kemudian berkaitan dengan jiwa dan dirancang diluar serta jauh dari dunia luar, terelpas apakah dunia luar yang dimaksud adalah dunia segala sesuatu atau orang lain.

b)      Memahami diri
      Memahami arti menjadi seseorang sangat bervariasi dari satu kultur ke kultur yang lain. Pada dasarnya konseling dan psikoterapi berkembang dalam kultur yang mengadopsi pemahaman tentang seseorang sebagai otonom, individual yang berdiri sendiri, dengan berbagai batasan diri yang kuat dan daerah pengalaman yang bersifat “dalam” dan privat. Lendrine (1992) telah mendeskripsikan definisi self ini sebagai refrential. Menurut self, adalah inner ‘thing” (sisi dalam diri sesuatu) atau daerah pengalaman “ diri yang berdiri sendiri dan lengkap dari kultur barat… diyakini sebagai peletak dasar, pembuat, dan pengontrol prilaku.

c)      Konstruksi moral
        Membuat pilihan moral, memutuskan yang benar dan yang salah adalah inti dari kehidupan. Akan tetapi, lanskap moral dikontruksikan secara berbeda dalam kultur yang berbeda. Moralitas barat sangat yakin dengan piliha dan tanggung jawab individual, dan kemauan untuk dibimbing oleh prinsip moral abstrak seperti “keadilan” atau “kejujuran”. Sebaliknya dalam kultur tradisional isu moral lebih cenderung ditetapkan melalui pertimbangan terjadinya takdir (fate), (misalnya karam dalam kepercayaan hindu).


Bab III
PENUTUP

A.     Kesimpulan

Asal-usul munculnya konseling multikultural ialah di Amerika di pertengahan tahun 1970-an. Sebagian besar karir konseling dan bimbingan praktis siap mengakui bahwa setiap klien adalah unik, dan bahwa individu harus di terima dan di hormati. Konseling multikultural mempunyai beberapa karakteristik yang diantaranya yaitu; memahami realitas, konsep diri, rasa moral, konsep waktu dan perasaan akan tanah air.

B.     Kritik dan Saran

Demikian makalah ini kami susun, semoga bermanfaat bagi pembaca. Jika banyak terdapat kesalahan kata dan pengetikan dalam makalah ini kami memohon maaf. Segala kritik dan saran dari pembaca sekalian yang sekiranya dapat membangun sangat kami harapkan, demi kesempurnaan makalah-makalah kami yang akan datang.




[1] Robert e. slavin, psikologi pendidikann teori dan praktik, Jakarta: pt indeks, 2008, hal. 156

[2] John mcleod, penganntar konselong teori dan studi kasus, Jakarta: kencana prenada media group, 2003, hal. 276

Aspek dan Indikator Kompetensi Profesional Guru Bimbingan dan Konseling

             Dalam Permendiknas No. 27 tahun 2009 tentang Standar Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Konselor dinyatakan bahwa kompetensi yang harus dikuasai guru Bimbingan dan Konseling/Konselor mencakup 4 (empat) ranah kompetensi, yaitu: kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Keempat rumusan kompetensi ini menjadi dasar bagi Penilaian Kinerja Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor.
         Jika diperbandingkan antara ekspektasi kinerja Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dengan kinerja guru mata pelajaran. Guru mata pelajaran tampak lebih dominan dalam  penguasaan ranah kompetensi pedagogik, sedangkan Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor lebih dominan dalam penguasaan ranah kompetensi profesional.
        Dengan tidak bermaksud mengesampingkan ranah atau wilayah kompetensi lainnya, berikut ini disajikan aspek dan indikator kompetensi profesional yang harus dikuasai seorang Guru Bimbingan dan Konseling atau Konselor:

A. Menguasai konsep dan praksis penilaian (assessment) untuk memahami kondisi, kebutuhan, dan masalah konseli.
        Mendeskripsikan hakikat asesmen untuk keperluan pelayanan konseling, memilih teknik penilaian sesuai dengan kebutuhan pelayanan bimbingan dan konseling, menyusun dan mengembangkan instrumen penilaian untuk keperluan bimbingan dan konseling, mengadministrasikan asesmen untuk mengungkapkan masalahmasalah peserta didik, memilih dan mengadministrasikan teknik penilaian pengungkapan kemampuan dasar dan kecenderungan pribadi peserta didik, memilih dan mengadministrasikan instrumen untuk mengungkapkan kondisi aktual peserta didik berkaitan dengan lingkungan, mengakses data dokumentasi tentang peserta didik dalam pelayanan bimbingan dan konseling, menggunakan hasil penilaian dalam pelayanan bimbingan dan konseling dengan tepat, menampilkan tanggung jawab profesional dalam praktik penilaian:
  1. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mengembangkan instrumen nontes (pedoman wawancara, angket, atau format lainnya) untuk keperluan pelayanan Bimbingan dan Konseling.
  2. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mengaplikasikan instrumen nontes untuk mengungkapkan kondisi aktual peserta didik/konseli berkaitan dengan lingkungan.
  3. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mendeskripsikan penilaian yang digunakan dalam pelayanan Bimbingan dan Konseling yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik/konseli.
  4. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat memilih jenis penilaian (Instrumen Tugas Perkembangan/ITP, Alat Ungkap Masalah/AUM, Daftar Cek Masalah/DCM, atau instrumen non tes lainnya) yang sesuai dengan kebutuhan layanan bimbingan dan konseling.
  5. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mengadministrasikan penilaian (merencanakan, melaksanakan, mengolah data) untuk mengungkapkan kemampuan dasar dan kecenderungan pribadi peserta didik/konseli.
  6. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mengadministrasikan penilaian (merencanakan, melaksanakan, mengolah data) untuk mengungkapkan masalah peserta didik/konseli (data catatan pribadi, kemampuan akademik, hasil evaluasi belajar, dan hasil psikotes).
  7. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat menampilkan tanggung jawab profesional sesuai dengan azas Bimbingan dan Konseling (misalnya kerahasiaan, keterbukaan, kemutakhiran, dll.) dalam praktik penilaian.
B. Menguasai kerangka teoretik dan praksis Bimbingan dan Konseling.           Mengaplikasikan hakikat pelayanan bimbingan dan konseling,mengaplikasikan arah profesi bimbingan dan konseling, mengaplikasikan dasar‐dasar pelayanan bimbingan dan konseling, mengaplikasikan pelayanan bimbingan dan konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja, mengaplikasikan pendekatan/model/jenis pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling, mengaplikasikan dalam praktik format pelayanan bimbingan dan konseling.
  1. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mengaplikasikan hakikat pelayanan Bimbingan dan Konseling (tujuan, prinsip, azas, fungsi, dan landasan).
  2. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat menentukankan arah profesi bimbingan dan konseling (peran sebagai Guru Bimbingan dan Konseling/konselor).
  3. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mengaplikasikan dasar‐dasar pelayanan Bimbingan dan Konseling.
  4. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mengaplikasikan pelayanan Bimbingan dan Konseling sesuai kondisi dan tuntutan wilayah kerja.
  5. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mengaplikasikan pendekatan /model/jenis pelayanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling.
  6. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mengaplikasikan praktik format (kegiatan) pelayanan Bimbingan dan Konseling.
C. Merancang Program Bimbingan dan Konseling.
      Menganalisis kebutuhan konseli, menyusun program bimbingan dankonseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan konseli secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan, menyusun rencana pelaksanaan program bimbingan dan konseling, merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program bimbingan dan konseling.
  1. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat menganalisis kebutuhan peserta didik/konseli.
  2. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat menyusun program pelayanan Bimbingan dan Konseling yang berkelanjutan berdasar kebutuhan peserta didik/konseli secara komprehensif dengan pendekatan perkembangan.
  3. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat menyusun rencana pelaksanaan program pelayanan Bimbingan dan Konseling.
  4. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat merencanakan sarana dan biaya penyelenggaraan program pelayanan Bimbingan dan Konseling.
D. Mengimplementasikan Program Bimbingan dan Konseling yang komprehensif.
    
Melaksanakan program bimbingan dan konseling, melaksanakan pendekatan kolaboratif dalam pelayanan bimbingan dan konseling, memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal, dan sosial konseli, mengelola sarana dan biaya program bimbingan dan konseling.
  1. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat melaksanakan program pelayanan Bimbingan dan Konseling.
  2. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat melaksanakan pendekatan kolaboratif dengan pihak terkait dalam pelayanan Bimbingan dan Konseling.
  3. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat memfasilitasi perkembangan akademik, karier, personal/ pribadi, dan sosial peserta didik/konseli.
  4. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mengelola sarana dan biaya program pelayanan Bimbingan dan Konseling.
E. Menilai proses dan hasil kegiatan Bimbingan dan Konseling.
      
Melakukan evaluasi hasil, proses, dan program bimbingan dan konseling, melakukan penyesuaian proses pelayanan bimbingan dan konseling, menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan bimbingan dan konseling kepada pihak terkait, menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program bimbingan dan konseling.
  1. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat melakukan evaluasi proses dan hasil program pelayanan Bimbingan dan Konseling.
  2. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat melakukan penyesuaian kebutuhan peserta didik/konseli dalam proses pelayanan Bimbingan dan Konseling.
  3. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat menginformasikan hasil pelaksanaan evaluasi pelayanan Bimbingan dan Konseling
  4. kepada pihak terkait.
  5. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat menggunakan hasil pelaksanaan evaluasi untuk merevisi dan mengembangkan program pelayanan Bimbingan dan Konseling berdasarkan analisis kebutuhan.
F. Memiliki kesadaran dan komitmen terhadap etika profesional.
        Memberdayakan kekuatan pribadi, dan keprofesionalan Guru Bimbingan dan Konseling/konselor, meminimalkan dampak lingkungan dan keterbatasan pribadi Guru Bimbingan dan Konseling/konselor, menyelenggarakan pelayanan sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional Guru Bimbingan dan Konseling/konselor, mempertahankan obyektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah peserta didik, melaksanakan referal sesuai dengan keperluan, peduli terhadap identitas profesional dan pengembangan profesi, mendahulukan kepentingan peserta didik daripada kepentingan pribadi Guru Bimbingan dan Konseling/konselor.
  1. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat memberdayakan kekuatan pribadi, dan keprofesionalan Guru Bimbingan dan Konseling/konselor.
  2. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat meminimalisir dampak lingkungan dan keterbatasan pribadi Guru Bimbingan dan Konseling/konselor.
  3. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat menyelenggarakan pelayanan Bimbingan dan Konseling sesuai dengan kewenangan dan kode etik profesional Guru Bimbingan dan Konseling/konselor.
  4. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mempertahankan objektivitas dan menjaga agar tidak larut dengan masalah peserta didik/konseli.
  5. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat melaksanakan layanan pendukung sesuai kebutuhan peserta didik/konseli (misalnya alih tangan kasus, kunjungan rumah, konferensi kasus, instrumen bimbingan, himpunan data)
  6. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat menghargai identitas profesional dan pengembangan profesi.
  7. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mendahulukan kepentingan peserta didik/konseli daripada kepentingan pribadi Guru Bimbingan dan Konseling/konselor.
G. Menguasai konsep dan praksis penelitian dalam Bimbingan dan Konseling.
          Mendeskripsikan berbagai jenis dan metode penelitian, mampu merancang penelitian bimbingan dan konseling, melaksanakan penelitian bimbingan dan konseling, memanfaatkan hasil penelitian dalam bimbingan dan konseling dengan mengakses jurnal pendidikan dan bimbingan dan konseling.
  1. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat mendeskripsikan jenis dan metode penelitian dalam Bimbingan dan Konseling.
  2. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor mampu merancang penelitian dalam Bimbingan dan Konseling.
  3. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat melaksanakan penelitian dalam Bimbingan dan Konseling.
  4. Guru Bimbingan dan Konseling/Konselor dapat memanfaatkan hasil penelitian dalam Bimbingan dan Konseling dengan mengakses jurnal yang relevan.
Refleksi:
Berkaitan dengan Penilaian Kinerja Guru BK/Konselor, begitu banyak indikator yang harus dipenuhi. Untuk menguasai semuanya secara paripurna tentu hal yang tidak mudah atau mungkin bisa dibilang mustahil. Maka hal terpenting bagi kita, mari kita berusaha untuk menguasai indikator-indikator itu sebanyak mungkin. Semakin banyak Anda menguasai indikator, niscaya akan semakin lebih baik hasil kinerja Anda.

Bimbingan dan Konseling Komprehensif


Bimbingan dan konseling komprehensif atau disebut juga bimbingan dan konselin perkembangan (karena menggarap semua aspek kehidupan peserta didik) merupakan orientasi baru dalam kegiatan layanan bimbingan dan konseling yang didasari fungsi pengembangan dengan prinsip antara lain: (1) dibutuhkan oleh semua peserta didik ; (2) fokus pada kegiatan belajar peserta didik;  (3) konselor dan guru merupakan fungsionaris yang bekerjasama;  (4) berorientasi tim dan pelayanan konselor profesional;  (5) memiliki dasar dalam psikologi anak, perkembangan anak dengan tujuan (1) mengenal dan memahami potensi, kekuatan, dan tugas-tugas perkembangannya, (2) mengenal dan memahami potensi atau peluang yang ada di lingkungannya, (3) mengenal dan menentukan tujuan dan rencana hidupnya serta rencana pencapaian tujuan tersebut, (4) memahami dan mengatasi kesulitan-kesulitan sendiri (5) menggunakan kemampuannya untuk kepentingan dirinya, kepentingan lembaga tempat bekerja dan masyarakat, (6) menyesuaikan diri dengan keadaan dan tuntutan dari lingkungannya; dan (7) mengembangkan segala potensi dan kekuatannya yang dimilikinya secara tepat dan teratur secara optimal.

A.    Tugas Perkembangan Peserta Didik
Bimbingan dan konseling komprehensif disebut juga bimbingan dan konseling perkembangan, karena dalam pelaksanaan bimbingan dan konseling menyentuh semua aspek kehidupan atau perkembangan peserta didik. Tugas-tugas perkembangan adalah sebagai berikut :

1.  Tugas perkembangan peserta didik SD/MI dan sederajat :
a.   Menanamkan dan mengembangkan kebiasaan dan sikap dalam beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.   Mengembangkan keterampilan dasar dalam membaca, menulis, dan berhitung
c.   Mengembangkan konsep-konsep yang perlu dalam kehidupan sehari-hari
d.   Belajar bergaul dan bekerja dengan kelompok sebaya
e.   Belajar menjadi pribadi yang mandiri
f.    Mempelajari keterampilan fisik sederhana yang diperlukan baik untuk permainan maupun kehidupan
g.   Mengembangkan kata hati, moral dan nilai-nilai sebagai pedoman perilaku
h.   Membina hidup sehat, untuk diri sendiri, dan lingkungan serta keindahan
i.    Belajar memahami diri sendiri dan orang lain sesuai dengan jenis kelaminnya dan menjalankan peran tanpa membedakan jenis kelamin
j.    Mengembangkan sikap terhadap kelompok, lembaga sosial, serta tanah air bangsa dan negarak.      Mengembangkan pemahaman dan sikap awal untuk perencanaan masa depan

2.   Tugas perkembangan peserta didik SMP/MTs dan sederajat :
a.   Mencapai perkembangan diri sebagai remaja yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.   Mempersiapkan diri, menerima dan bersikap positif serta dinamis terhadap perbuatan fisik dan psikis yang terjadi pada diri sendiri untuk kehidupan yang sehat
c.   Mencapai pola hubungan yang baik dengan teman sebaya dalam perannya sebagai pria dan wanita
d.   Memantapkan nilai dan cara bertingkah laku yang dapat diterima dalam kehidupan yang lebih luas
e.   Mengenal kemampuan, bakat dan minat serta arah kecenderungan karir dan aparesiasi seni.
Mengembangkan pengerahuan dan keterampilan untuk mengikuti dan melanjutkan pelajaran dan/atau mempersiapkan atau berperan dalam kehidupan di masyarakat
g.   Mengenal gambaran dan mengembangkan sikap tentang kehidupan mandiri secara emosional, sosial dan ekonomi
h.   Mengenal system etika dan nilai-nilai bagi pedoman hidup sebagai mandiri, anggota masyarakat, dan warga negara

3.   Tugas perkembangan peserta didik SMA/SMK/MA dan sederajat :
a.  Mencapai kematangan dalam beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
b.  Mencapai kematangan dalam hubungan dengan teman sebaya, serta kematangan dalam perannya sebagai pria dan wanita
c.  Mencapai kematangan pertumbuhan jasmaniah yang sehat
d. Mengembangkan penguasaan ilmu, teknologi dan seni sesuai dengan program kutikulum dan persiapan karir atau melanjutkan pendidikan tinggi, serta berperan dalam kehidupan yang lebih luas
e.  Mencapai kematangan dalam pilihan karir
f.  Mencapai kematangan gambar dan sikap tentang kehidupan mandiri, secara emosional, sosial, intelektual dan ekonomi
g. Mencapai kematangan gambaran dan sikap tentang kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
h. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi sosial dan intelektual serta apresiasi seni
i.  Mencapai kematangan dalam system etika dan nilai

B.  Tujuan, Fungsi, Prinsip-prinsip, Bidang  BK, Asas dan Komponen Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif.

a.  Tujuan Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Tujuan pemberian layanan bimbingan ialah agar individu dapat: (1) merencanakan kegiatan penyelesaian studi, perkembangan karir serta kehidupannya di masa yang akan datang; (2) mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimilikinya seoptimal mungkin; (3) menyesuaikan diri dengan lingkungan pendidikan, lingkungan masyarakat serta lingkungan kerjanya; (4) mengatasi hambatan dan kesulitan yang dihadapi dalam studi, penyesuaian dengan lingkung­an pendidikan, masyarakat, maupun lingkungan kerja.

b.  Fungsi Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Pemahaman, yaitu membantu peserta didik (siswa) agar memiliki pemahaman terhadap dirinya (potensinya) dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, dan norma agama).
Preventif, yaitu upaya konselor untuk senantiasa mengantisi-pasi berbagai masalah yang mungkin terjadi dan berupaya untuk mencegahnya, supaya tidak dialami oleh peserta didik.
Pengembangan, yaitu konselor senantiasa berupaya untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif, yang mem-fasilitasi perkembangan siswa.
Perbaikan (Penyembuhan), yaitu fungsi bimbingan yang bersifat kuratif.
Penyaluran, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu individu memilih kegiatan ekstrakurikuler, jurusan atau program studi, dan memantapkan penguasaan karir atau jabatan yang sesuai dengan minat, bakat, keahlian dan ciri-ciri kepribadian lainnya.
Adaptasi, yaitu fungsi membantu para pelaksana pendidikan khususnya konselor, guru atau dosen untuk mengadaptasikan program pendidikan terhadap latar belakang pendidikan, minat kemampuan, dan kebutuhan individu (siswa).
Penyesuaian, yaitu fungsi bimbingan dalam membantu  individu (siswa) agar dapat menyesuaikan diri secara dinamis dan konstruktif terhadap program pendidikan, peraturan sekolah, atau norma agama.

c.  Prinsip-prinsip Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fondasi atau landasan bagi layanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian layanan bantuan atau bimbingan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut : Terdapat beberapa prinsip dasar yang dipandang sebagai fondasi atau landasan bagi layanan bimbingan. Prinsip-prinsip ini berasal dari konsep-konsep filosofis tentang kemanusiaan yang menjadi dasar bagi pemberian layanan bantuan atau bimbingan, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut.
1)     Bimbingan diperuntukhan bagi semua individu (guidance is for all individuals)
2)     Bimbingan bersifat individualisasi Setiap individu bersifat unik (berbeda satu sama lainnya)
3)     Bimbingan menekankan hal yang positif.
4)   Bimbingan Merupakan Usaha Bersama Sekolah. Mereka sebagai teamworkterlibat dalam proses bimbingan.
5)     Pengambilan Keputusan Merupakan Hal yang Esensial
dalam Bimbingan.
6)      Bimbingan Berlangsung dalam Berbagai Setting (Adegan) Kehidupan.

d.   Bidang Bimbingan dan Konseling Komprehensif
1)     Bimbingan Akademik Bimbingan akademik yaitu bimbingan yang diarahkan untuk mem-bantu para individu dalam menghadapi dan memecahkan masalah-masalah akademik.
2)    Bimbingan Sosial-Pribadi Bimbingan sosial-pribadi merupakan bimbingan untuk membantu para individu dalam memecahkan masalah-masalah sosial-pribadi.
3)    Bimbingan Karir Bimbingan karir yaitu bimbingan untuk membantu individu dalam perencanaan, pengembangan dan pemecahan masalah-masalah karir

C.   Komponen Program Bimbingan dan Konseling Komprehensif
Program bimbingan dan konseling mengandung empat komponen layanan, yaitu:  (1) layanan dasar bimbingan (guidance curriculum); (2) layanan responsif, (3) layanan perencanaan indiviual, dan (4) layanan dukungan sistem. Keempat komponen program tersebut dapat digambarkan  sebagai berikut.

1.  Layanan Dasar. Layanan dasar diartikan sebagai proses pemberian bantuan kepada seluruh peserta didik  melalui kegiatan penyiapan pengalaman terstruktur secara klasikal atau kelompok yang disajikan secara sistematis dalam rangka mengembangkan perilaku jangka panjang sesuai dengan tahap dan tugas-tugas perkembangan (yang dituangkan sebagai standar kompetensi kemandirian) yang diperlukan dalam pengembangan kemampuan memilih dan mengambil keputusan dalam menjalani kehidupannya. Penggunaan instrumen  asesmen perkembangan dan kegiatan tatap muka terjadwal di kelas sangat diperlukan untuk mendukung implementasi komponen ini. Asesmen kebutuhan diperlukan untuk dijadikan landasan pengembangan pengalaman terstruktur yang disebutkan. Layanan ini bertujuan untuk membantu semua siswa agar memperoleh perkembangan yang normal, memiliki mental yang sehat, dan memperoleh keterampilan dasar hidupnya, atau dengan kata lain membantu siswa agar mereka dapat mencapai tugas-tugas perkembangannya. Secara rinci tujuan layanan ini dapat dirumuskan sebagai upaya untuk membantu siswa agar  (1) memiliki kesadaran (pemahaman) tentang diri dan lingkungannya (pendidikan, pekerjaan, sosial budaya dan agama), (2) mampu mengembangkan keterampilan untuk mengidentifikasi tanggung jawab atau seperangkat tingkah laku yang layak bagi penyesuaian diri dengan lingkungannya, (3) mampu menangani atau memenuhi kebutuhan dan masalahnya, dan (4) mampu mengembangkan dirinya dalam rangka mencapai tujuan hidupnya.

2.  Layanan Responsif. Layanan responsif merupakan pemberian bantuan kepada peserta didik  yang menghadapi kebutuhan dan masalah yang memerlukan pertolongan dengan segera, sebab jika tidak segera dibantu dapat menimbulkan gangguan dalam proses pencapaian tugas-tugas perkembangan. Konseling indiviaual, konseling krisis, , konsultasi dengan orangtua, guru, dan  alih tangan kepada ahli lain adalah ragam bantuan yang dapat dilakukan dalam layanan responsif. 

3.  Perencanaan Individual. Layanan ini diartikan proses bantuan kepada peserta didik agar mampu merumuskan dan melakukan aktivitas yang berkaitan dengan perencanaan masa depan berdasarkan pemahaman akan kelebihan dan kekurangan dirinya, serta pemahaman akan peluang dan kesempatan yang tersedia di lingkungannya. Pemahaman peserta didik  secara mendalam dengan segala karakteristiknya, penafsiran hasil asesmen, dan penyediaan informasi yang akurat sesuai dengan peluang dan potensi yang dimiliki peserta didik amat diperlukan sehingga peserta didik mampu memilih dan mengambil keputusan yang tepat di dalam mengembangkan potensinya secara optimal, termasuk keberbakatan dan kebutuhan khusus peserta didik.

4.   Dukungan Sistem Ketiga komponen diatas, merupakan pemberian layanan bimbingan dan konseling kepada peserta didik secara langsung. Sedangkan dukungan sistem merupakan komponen layanan dan kegiatan manajemen, tata kerja, infra struktur (misalnya Teknologi Informasi dan Komunikasi), dan pengembangan kemampuan profesional konselor secara berkelanjutan, yang secara tidak langsung memberikan bantuan kepada peserta didik atau memfasilitasi kelancaran perkembangan peserta didik.

KESIMPULAN
    Program bimbingan dan konseling komprehensif merupakan bimbingan dan konseling yang berorientasi pada perkembangan, yang didalamnya terdiri dari empat komponen utama program bimbingan dan konseling, yaitu :
  1. Layanan Dasar
  2. Layanan Responsif
  3. Layanan Perencanaan Individual
  4. Layanan dukungan sistem
     Program bimbingan dan konseling yang komprehensif membutuhkan kebijakan di sekolah yang integratif yaitu adanya keselarasan antara kebijakan dalam bidang pengajaran, bimbingan, kegiatan ekstra kurikuler, kebijakan keuangan, sarana dan prasarana, personalian dan lain lain. Program bmbingan dan konseling yang komprehensif membutuhkan dukungan manajemen sekolah yang adil dan setara sehingga sekolah memberikan perhatian yang memadai dan setara terhadap semua unsur yang penting bagi jalanya proses pendidikan. Dukungan finansial yang memadai, fasilitas yang memadai dan pemberian waktu yang memadai untuk bimbingan, pengajaran dan kegiatan pendidikan lain di sekolah adalah bukti kebijakan yang integratif di sebuah lembaga pendidikan.

Sumber : http://4stoety.wordpress.com/2011/09/30/bimbingan-dan-konseling-komprehensif/