A. Teori
Konseling Realita
Glasser berpandangan bahwa semua
manusia memiliki kebutuhan dasar yaitu kebutuhan fisiologis dan psikologis.
Perilaku manusia dimotivasi untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut. Kebutuhan
fisiologis yang dimaksud adalah sama dengan ahli lain, sedangkan kebutuhan
psikologis manusia menurut Glasser yang mendasar pada dua macam yaitu: (1)
kebutuhan dicintai dan mencintai dan (2) kebutuhan akan penghargaan (George dan
Cristiani, 1990). Kedua kebutuhan psikologis tersebut dapat digabung menjadi
satu kebutuhan yang s,angat utama yang disebut kebutuhan identitas.
Identitas merupakan cara seseorang
melihat dirinya sendiri sebagai manusia dalam hubungannya dengan orang lain dan
dunia luarnya. Setiap orang mengembangkan gambaran identitasnya berdasarkan
atas pemenuhan kebutuhan psikologisnya. Anak yang berhasil menemukan
kebutuhannya, yaitu terpenuhinya kebutuhan cinta dan penghargaan akan
mengambangkan diri sebagai orang yang berhasil dan membentuk identitasnya
dengan identitas keberhasilan, sebaliknya jika anak gagal menemukan
kebutuhannya, akan mengembangkan gambaran diri sebagai orang yang gagal dan
membentuk identitasnya dengan identitas kegagalan (failure identity).
Anak yang tidak terpenuhi
kebutuhannya dapat mencari jalan lain, misalnya dengan menarik diri atau
bertindak delinkuensi. Menurut Glasser individu yang membangun identitas
kegagalan tersebut pada dasarnya orang yang tidak bertanggung jawab karena
mereka menolak realitas sosial, moral, dunia sekitarnya. Namun demikian
identitas kegagalan pada anak ini dapat diubah menjadi identitas keberhasilan
asalkan anak dapat menemukan kebutuihan dasarnya.
Orang yang menemukan gangguan mental
menurut kalangan profesional sebenarnya adalah orang yang menolak realitas
menurut pandangan Glasser. Penolakan individu terhadap realitas dunia
sekitarnya (norma, hukum, sosial dan sebagainya) dapat sebagian saja tetapi
dapat pula keseluruhan. Ada dua cara penolakan terhadap realitas itu:
(1) Mereka mengubah dunia nyata
dalam dunia pikirnya agar mereka merasa cocok atau
(2) Secara sederhana mengabaikan
realitas dengan menentang atau menolak hukum yang ada.
Untuk mengenbangkan identitas
keberhasilan, individu harus mempunyai kebutuhan dasar yang dijumpai : (1)
mengetahui bahwa setidaknya seseorang mencintainya dan dia dicintai setidaknya
seseorang (2) memandang dirinya sebagai orang yang berguna selain sebagai cara
simultan berkeyakinan bahwa orang lain melihatnya sebagai orang yang berguna. Kedua
kebutuhan itu (cinta dan berguna) ada pada individu bukan salah satunya. Orang
tua memegang peranan penting dalam pembentukan identitas individu. Tentunya
pihak lain juga sangat besar pengaruhnya terhadap pembentukan identitas ini,
diantaranya kelompok sebaya, sekolah, aspek-aspek budaya dan lingkungan sosial
lainnya dan setiap saat berinteraksi dan membentuk struktur kognitif anak
(Calvin, 1980). Sikap cinta dan penghargaan merupakan satu hal yang integral,
satu sama lain terkait.
Anak yang memperoleh cinta tetapi
tidak mendapatkan penghargaan akan menimbulkan ketergantungan yang lain untuk
memperoleh pengesahan. Pemenuhan kebutuhan atas penghargaan dan cinta itu tidak
hanya terjadi pada hubungan orangt tua dan anak saja dapat pula dipenuhi dalam
hubungan yang lain, seperti hubungan guru dan siswa, hubungan dengan
teman-temannya Dsb. Semua itu berakibat kumulatif kepada anak, yaitu membentuk
identitasnya dengan identitas keberhasilan atau kegagalan.
Konseling realitas sebagian besar
memandang individu pada perilakunya, tetapi berbeda dengan behavioral yang
melihat perilaku dalam kontex hubungan stimulus respon dan beda pula dengan
pandangan konseling berpusat pada person yang melihat perilaku dalam konteks
fenomenologis. Perilaku dalam pandangan konseling realitas adalah perilaku
dengan stadar yang objektif yang dikatakan denga ”reality”.
B. Perilaku Bermasalah Menurut Konseling Realita
B. Perilaku Bermasalah Menurut Konseling Realita
Reality therapy pada dasarnya tidak
mengatakan bahwa perilaku individu itu sebagai perilaku yang abnormal. Konsep
perilaku menurut konseling realitas lebih dihubungkan dengan berperilaku yang
tepat atau berperilaku yang tidak tepat. Menurut Glasser, bentuk dari perilaku
yang tidak tepat tersebut disebabkan karena ketidak mampuannya dalam memuaskan
kebutuhannya, akibatnya kehilangan ”sentuhan” dengan realitas objektif, dia
tidak dapat melihat sesuatu sesuai dengan realitasnya, tidak dapat melakukan
atas dasar kebenaran, tangguang jawab dan realitas.
Meskipun konseling realitas tidak
menghubungkan perilaku manusia dengan gejala abnormalitas, perilaku bermasalah
dapat disepadankan dengan istilah ”identitas kegagalan”. Identitas kegagalan
ditandai dengan keterasingan, penolakan diri dan irrasionalitas, perilakunya
kaku, tidak objektif, lemah, tidak bertanggung jawab, kurang percaya diri dan
menolak kenyataan.
Menurut Glasser (1965, hlm.9), basis
dari terapi realitas adalah membantu para klien dalam memenuhi
kebutuhan-kebutuhan dasar psikologisnya, yang mencangkup “kebutuhan untuk
mencintai dan dicintai serta kkebutuhan untuk merasakan bahwa kita berguna baik
bagi diri kita sendiri maupun bagi oaring lain”.
Pandangan tentang sifat manusia
mencakup pernyataan bahwa suatu “kekuatan pertumbuhan” mendorong kita untuk
berusaha mencapai suatu identitas keberhasilan. Penderitaan pribadi bisa diubah
hanya dengan perubahan identitas. Pandangan terapi realitas menyatakan bahwa,
karena individu-individu bisa mengubaha cara hidup, perasaan, dan tingkah
lakunya, maka merekapun bisa mengubah identitasnya. Perubahan identitas
tergantung pada perubahan tingkah laku.
Maka jelaslah bahwa terapi realitas
tidak berpijak pada filsafat deterministik tentang manusia, tetapi dibangun
diatas asumsi bahwa manusia adalah agen yang menentukan dirinya sendiri.
Perinsip ini menyiratkan bahwa masing-masing orang memilkiki tanggung jawab
untuk menerima konsekuensi-konsekuensi dari tingkah lakunya sendiri. Tampaknya,
orang menjadi apa yang ditetapkannya.
C. Ciri-Ciri
Terapi Realitas
Sekurang-kurangnya ada delapan ciri
yang menentukan terapi realitas sebagai berikut.
1. Terapi Realitas Menolak Konsep
Tetang Penyakit Mental. Ia berasumsi bahwa bentuk-bentuk gangguan tingkah laku
yang spesifik adalah akibat dari ketidak bertanggung jawaban. Pendekatan ini
tidak berurusan dengan diagnosis-diagnosis psikologis.
2. Terapi realitas berfokus pada
tingkah laku sekarang alih-alih pada perasaan-perasaan dan sikap-sikap.
Meskipun tidak menganggap perasaan-perasaan dan sikap-sikap itu tidak penting,
terapi realitas menekankan kesadaran atas tingkah- laku sekarang.
3. Terapi realitas berfokus pada saat
sekarang, bukan kepada masa lampau. Karena masa lampau seseorang itu telah
tetap dan tidak bisa diubah, maka yang bisa diubah hanyalah saat sekarang dan
masa yang akan datang.
4. Terapi realitas menekankan
pertimbangan-pertimbangan nilai. Terapi realitas menempatkan pokok
kepentingannya pada peran klien dalam menilai kualitas tingkah lakunya sendiri
dalam menentukan apa yan g membantu kegagalan yang dialaminya.
5. Terapi realitas tidak menekankan
transferensi. Ia tidak memandang konsep tradisional tentang transferensi
sebagai hal yang penting. Ia memandang trasferensi sebagai suatu cara bagi
terapis untuk tetap bersembunyi sebagai pribadi. Glasser (1965) menyatakan
bahwa para klien tidak mencari suatu pengulangan keterlibatan dimasa lampau
yang tidak berhasil, tetapi mencari suatu keterlibatan manusiawi yang memuaskan
dengan orang lain dalam keberadaan mereka sekarang.
6. Terapi realitas menekankan
asapek-aspek kesadaran, bukan aspek-aspek ketaksadaran. Terapi realitas
menandaskan bahwa menekankan ketaksadaran berarti mengelak dari pokok masalah
yang menyangkut ketidak bertanggung jawabana klien dan memaafkan klien atas
tindakannya menghindari kenyataan.
7. Terapi realitas menghapus hukuman.
Glasser mengingatkan bahwa pemberian hukuman guna mengubah tingkah laku tidak
efektif dan bahwa hukuman untuk kegagalan melaksanakan rencana-rencana
mengakibatkan perkuatan identitas kegagalan pada klien dan perusakan hubungan
terapeutik.
8. Terapi realitas menekankan tanggung
jawab, yang oleh Glasser (1965, hlm. 13) mendefinisikan sebagai “kemampuan
untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sendiri dan melakukannya dengan cara tidak
mengurangi kemampuan orang lain dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka”.
Glasser (1965) menyatakan bahwa mengajarkan tanggung jawab adalah konsep inti
dalam terapi realitas.
D. Kenakalan Remaja
D. Kenakalan Remaja
Kenakalan remaja biasanya dilakukan oleh
remaja-remaja yang gagal dalam menjalani proses-proses perkembangan jiwanya,
baik pada saat remaja maupun pada masa kanak-kanaknya. Masa kanak-kanak dan
masa remaja berlangsung begitu singkat, dengan perkembangan fisik, psikis, dan
emosi yang begitu cepat. Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud
dari konflik-konflik yang tidak terselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak
maupun remaja para pelakunya. Seringkali didapati bahwa ada trauma dalam masa
lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya, maupun
trauma terhadap kondisi lingkungan, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya
merasa rendah diri, dan sebagainya.
A.
APLIKASI (Keadaan Psikologis
Klien)
Klien dalam studi kasus
ini klien sering tidak masuk sekolah walaupun hanya satu minggu sekali
bahkan tidak jarang pula satu minggu dua kali. Alasan yang dialami klien untuk
tidak berangkat sekolah karena malas untuk berangkat sekolah dan klien pada
waktu tidak berangkat sekolah dia bermain keluar rumah bersama teman lainnya.
Orang tuanya jarang pulang kerumah karena kesibukannya. Dalam proses
pembelajaran akan juga mengalami permasalahan terbukti bahwa anak ini
menyukai beberapa mata pelajaran saja dan pelajaran yang paling disukai adalah
pendidikan olahraga. Dalam hal aktualisasi diri juga mengalami permasalahan ini
terbukti ketika dalam pembicaraan dia susah diajak komunikasi. Anak ini
dalam proses pembelajaran kurang menguasai apa yang disampaikan oleh gurunya
serta jarang memperhatikan gurunya dalam pelajaran. Anak ini juga sering
terlambat sekolah karena berbagai alasan, seperti bangun kesiangan, ban motor
yang bocor, dll.
B. ANALISIS
Analisis Prilaku yang dialami klien
sekarang adalah dampak dari eksternal yaitu kurangnya peran keluarga yang
kurang dalam keseharianya klien mencoba untuk mengatasi
segala permasalahanya sendiri dalam hal moral dan spiritual. Karena
usianya yang sekarang dalam masa pubertas, dimana juga klien mencari jati dirinya
terpengaruh oleh teman-temannya yang membuat klien suka membolos sekolah.
Prilaku membolos membuat klien mengalami ketinggalan pelajaran, sehingga
prestasi klien menurun dan nilai rapornya rendah.
Klien sering tidak masuk sekolah karena
hanya ingin melakukan sebuah kegiatan yang disenangi oleh klien, dimana saat
klien malas untuk berangkat sekolah sehingga klien ketinggalan pelajaran dan
dapat merugikan sendiri. Kemalasan klien tidak terlalu begitu parah karena
hanya malas berangkat sekolah. Dalam hal kegiatan yang lain tidak begitu malas.
Klien membolos karena malas dan lebih senang bermain dengan teman
sepergaulannya. Malas karena ada beberapa pelajaran yang tidak disukai dan
bahkan guru yang tidak disukai. Kemalasan yang dimiliki oleh klien karena klien
kurang memahami kewajibanya sebagai seorang anak yaitu belajar. Klien
tidak mengerti hal utama yang harus dilakukan oleh seorang murid.
C.
TEKNIK-TEKNIK
TERAPI YANG DIGUNAKAN
Terapi realitas bisa ditandai
sebagai terapi yang aktif secara verbal. Prosedur-prosedurnya difokuskan pada
kekutan-kekuatan dan potensi-potensi klien yang dihubungkan dengan tingkah
lakunya sekarang dan usahanya untuk mencapai keberhasilan dalam hidup. Terapis
atau konselor bisa menggunakan beberapa teknik sebagai berikut:
a) Menggunakan role playing dengan
klien.
b) Menggunakan humor yang mendorong suasana
yang segar dengan rilek. Agar konseli (siswa) diatas bisa merasa nyaman dan
betah berada di sekolah.
c) Tidak menjanjikan kepada klien maaf
apapun, karena telah terlebih dahulu diadakan perjanjian untuk melakukan
tingkah laku tertentu yang sesuai dengan keberadaan klien.
d) Menolong klien utnuk merumuskan
tingkah apa yang akan diperbuatnya. Mendorong klien untuk berpikir bahwa
sekolah dan belajar lebih penting dari pada membolos bermain-main dengan teman
yang tidak jelas.
e) Membuat modal-model peranan terapis
sebagai guru yang lebih bersifat mendidik.
f) Membuat batas-batas yang tegas dari
struktur dan situasi terapinya.
g) Menggunakan terapi kejutan verbal
atau ejakan yang pantas untuk menkanfrontasikan klien dengan tingkah lakunya
yang tak pantas, misalnya berupa teguran secara langsung atau tiba-tiba
terhadap tingkah lakunya atau janji yang tak dapat dipertanggungjawabkan.
h) Ikut terlibat mencari hidup yang
lebih efektif, misalnya, dengan merencanakan model belajar atau sekolah
yang langsung dalam kehidupan dilakukan.
Terapi realitas tidak memasukkan
sejumlah teknik yang secara umum diterima oleh pendekatan-pendektan terapi
lain. Para psikiater yang mempraktekkan terapi realitas tidak menggunakan
obat-obatan dan medikasi-medikasi konservatif, sebab medikasi cenderung
menyingkirkan tanggung jawab pribadi. Selain itu, para pempraktek terapi
realitas tidak menghabiskan waktunya untuk bertindak sebagai “Detektif” mencari
alasan-alasan, terapi berusaha membangun kerjasama dengan para klien untuk
membantu mereka dalam mencapai tujuan-tujuanya.
Tehnik-tehnik diagnostik tidak
menjadi bagian terapi realitas sebab diagnostik dianggap membuang waktu dan
lebih buruk lagi, dengan menyematkan label pada klien yang cenderung
mengekalkan tingkah laku yang tidak bertanggung jawab dan gagal. Tehnik-tehnik
lain yang tidak digunakan adalah penafsiran, pemahaman, wawancara-wawancara
nondirektif, sikap diam yang berkepanjangan, asosiasi bebas, analisis
transferensi dan resistensi, dan analisis mimpi.
D.
PROSEDUR
KONSELING
Untuk mencapai tujuan-tujuan konseling
itu terdapat prosedur yang harus diperhatikan oleh konselor realitas. Prosedur
tersebut terdapat delapan diantaranya:
a.
Berfokus
pada personal
Prosedur utama adalah
mengkomunikasikan perhatian konselor kepada klien. Perhatian itu ditandai oleh
hubungan hangat dan pemahamnnya ini merupakan kunci keberhasilan konseling.
Sehingga konseli akan merasa bahwa masih ada orang yang mau memperhatikannya.
b.
Berfokus
pada perilaku
Konseling realitas berfokus pada
perilaku tidak pada peraaan dan sikap. Konselor dapat meminta klien untuk
”melakukan sesuatu menjadi lebih baik” dan bukan meminta klien ”merasa yang
lebih baik”.
c.
Berfokus
pada saat ini
Konseling realitas memandang tidak
perlu melihat masa lalu klien. Konselor tidak perlu melakukan explorasi
terhadap pengalaman-pengalaman yang irrasional di masa lalunya. Konselor dapat
mencari tahu alas an kenapa konseli melakukan perilaku itu pada saat sekarang.
d.
Pertimbangan
nilai
Konseling realitas menganggap
pentingnya melakukan pertimbangan nilai, penilaian perilakunya oleh diri klien
akan membantu kesadarannya tentang dirinya untuk melakukan hal-hal yang positif
atau mencapai identitas keberhasilan.
e.
Pentingnya
pernyataan
Kesadaran klien tentang perilakunya
yang tidak bertannggung jawab harus dilanjutkan dengan perencanaan untuk
mengubahnya menjadi perilaku yang bretanggung jawab. Untuk mencapai hal ini
konselor bertugas membantu klien untuk memperoleh pengalaman berhasil pada
tingkat-tingkat yang sulit secara progresif.
f.
Komitmen
Perencanaan saja tidak cukup.
Konselor terus meyakinkan klien bahwa kepuasaan atau kebahagiaanya sangat
ditentukan oleh komitmen pelaksanaan rencana-rencananya.
g.
Tidak
menerima dalih
Adakalanya renacana yang telah
disusun dan telah ada komitmen klien untuk melaksanakan, tetapi tidak dapat
dilaksanakan atau mengalami kegagalan. Pada saat itu konselor perlu membantu
rencana dan mebuta komitmen baru Untuk melaksanakan upaya lebih lanjut.
h.
Menghilangkan
hukuman
Hukuman harus ditiadakan. Konseling
realitas tidak memperlakuakn hukuman sebagai tekhnik perubahan perilaku.
E.
PROSES
KONSELING
Salah satu fungsi utama dalam
konseling adalah menolong klien mengubah keterampilan dalam menilai potensi-potensinya,
aspirasi-aspirasinya, dan self-concept-nya yang sering keliru dengan
pertolongan konselor. Williamson (1958) mengatakan bahwa wawancara konseling
merupakan suatu latihan intelektual dalam pemecahan masalah-masalahnya sendiri
menurut pemikiran yang sehat. Klien perlu belajar menggali dan memahami hal-hal
yang bersangkutan dengan norma-norma kesusilaannya serta pegangan-pegangan
nilai lainnya agar dapat mempertanggung jawabkan semua tindakannya.
Bila ada unsur-unsur afektif, perlu
juga ditanggulangi tetapi ini bukan tujuan akhir konselor. Konseling dapat
diperluas dengan mennggunakan pendekatan pemecahan masalah yang rasional
mengenai masalah-masalah yang khusus yang sedang dihadapi oleh klien.
Williamson dan Darley, telah menyusun 6 langkah untuk proses clinical counseiling,
yaitu diantaranya:
1) Analisis,
2) Sintesis,
3) Diagnosis,
4) Prognisis,
5) Treatment, dan
6) Follow up.
F.
SASARAN
Dalam
menangani kasus ini sasaran yang utama hendak dicapai adalah subyek sendiri,
jadi perlakuan yang konselor lakukan ditujukan kepada subyek.
G. TUJUAN
a) Menolong individu agar mampu
mengurus diri sendiri dengan kata lain individu dapat membuat keputusan yang
tepat dari tingkah laku yang dibuatnya untuk mencapai masa datang yang lebih
baik (memandirikan klien).
b) Mendorong klien untuk bertanggung
jawab serta memikul segala resiko. Tanggung jawab yang dimintakan klien sesuai
dengan kemampuaan dan keinginnya.
c) Mengembangkan rencana-rencana nyata dalam
mencapi tujuan, rencana harus dibuat realistik dalam arti dapat diwujudkan
dalam tingkah laku yang nyata dan merupakan harapan yang dapat dicapi atas
kemampuan yang dimiliki klien.
d) Tingkah laku yang sukses yang dapat
dihubungkan dengan pencapaian kepribadian yang sukses. Kesuksesan peribadi
dicapai dengan nilai-nilai adanya keinginan individu, untuk mengubahnya
sendiri jadi tanggungjawab yang penuh atas kesadaran sendiri.
e) Terapi ditekankan pada disiplin dan
tanggungjawab atas kesadaran sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar