BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembelajaran merupakan suatu hal yang
kompleks dan selalu berkaitan dengan berbagai bidang. Tak terkecuali dalam
bidang pendidikan. Pembelajaran merupakan sebuah kebutuhan yang nantinya dapat
memberikan berbagai manfaat dan wawasan kepada pelajar. Dalam hal ini,
pendidikan juga menuntut adanya pembelajaran untuk menunjang kegiatan
pendidikan. Sebagaimana kita ketahui bahwa pembelajaran merupakan hal yang
penting dalam bidang pendidikan. Tentu saja dalam proses belajar terdapat teori
– teori yang memunculkan adanya pembelajaran. Dari zaman dahulu, para ilmuwan
terus mengembangkan teori – teori pembelajaran sebagai temuan mereka untuk
mengembangkan pemikiran pembelajaran mereka.
Era
globalisasi telah membawa berbagai perubahan yang memunculkan adanya teori –
teori pembelajaran yang baru guna menyempurnakan teori – teori yang telah ada
sebelumnya. Akan tetapi, kita sebagai insan tak bisa bertolak dengan adanya
teori pembelajaran yang telah ada sebelumnya. Adapun teori pembelajaran selalu
bertolak dari sudut pandangan psikologi belajar tertentu.
Dengan
perkembangan psikologi dalam pendidikan, maka bermunculan pula berbagai teori
tentang pembelajaran, justru dapat dikatakan bahwa dengan tumbuhnya pengetahuan
tentang pembelajaran, maka psikologi dalam pendidikan menjadi berkembang sangat
pesat. Dengan bermunculnya teori – teori yang baru akan menyempurnakan teori –
teori yang sebelumnya. Berbagai teori pembelajaran dapat dikaji dan diambil
manfaat dengan adanya teori tersebut. tentunya setiap teori pembelajaran
memiliki keistimewaan tersendiri. Bahkan, tak jarang dalam setiap teori pembelajaran
juga terdapat kritikan – kritikan untuk penyempurnaan teori tersebut. dalam hal
ini, kelompok kami akan mengkaji salah satu teori belajar yang dikemukakan oleh
Thorndike.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dengan disusunnya makalah ini adalah sebagai berikut ;
1. Bagaimana sejarah teori belajar Thorndike tersebut bisa muncul ?
1. Bagaimana sejarah teori belajar Thorndike tersebut bisa muncul ?
2. Apa definisi belajar menurut
teori belajar Thorndike ?
3. Apa saja ciri – ciri dari teori
belajar Thorndike itu ?
4. Eksperimen apa saja yang dilakukan oleh Thorndike
hingga muncul adanya teori belajar Thorndike ?
5. Apa saja yang menjadi hukum –
hukum dari teori belajar Thorndike tersebut ?
6. Bagaimana konsep teori Thorndike
pasca 1930 ?
C. Tujuan
Adapun
tujuan dengan disusunnya makalah ini adalah untuk menambah wawasan pengetahuan
mahasiswa / mahasiswi tentang pemikiran dan teori-teori Edward Lee Thorndike
dan untuk mengetahui lebih mendalam tentang teori belajar yang dikemukakan oleh
Thorndike.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Teori Belajar Thorndike
Edward
Lee Thorndike ialah seorang fungsionalis. Meski demikian, ia telah membentuk
tahapan behaviorisme Rusia dalam versi Amerika. Thorndike (1874-1949) mendapat
gelar sarjananya dari Wesleyan University di Connecticut pada tahun 1895, dan
master dari Hardvard pada tahun 1897. Ketika di sana, Thorndike mengikuti
kelasnya Williyams James dan mereka pun menjadi akrab. Thorndike menerima
beasiswa di Colombia, dan dapat menyelesaikan gelar PhD-nya tahun 1898.
Kemudian dia tinggal dan mengajar di Colombia sampai pensiun pada tahun 1940.
Thorndike
berhasil menerbitkan suatu buku yang berjudul “Animal intelligence, An experimental
study of associationprocess in Animal”. Buku tersebut merupakan hasil
penelitian Thorndike terhadap tingkah beberapa jenis hewan seperti kucing,
anjing, dan burung yang mencerminkan prinsip dasar dari proses belajar yang
dianut oleh Thorndike yaitu bahwa dasar dari belajar (learning) tidak lain
sebenarnya adalah asosiasi, suatu stimulus akan menimbulkan suatu respon
tertentu.
Teori
yang dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori S-R. Dalam teori S-R dikatakan
bahwa dalam proses belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar
dengan cara coba salah (Trial end error). Apabila suatu organisme berada dalam
suatu situasi yang mengandung masalah, maka organisme itu akan mengeluarkan
tingkah laku yang serentak dari kumpulan tingkah laku yang ada padanya untuk
memecahkan masalah itu. Berdasarkan pengalaman itulah, maka pada saat
menghadapi masalah yang serupa, organisme sudah tahu tingkah laku mana yang
harus dikeluarkannya untuk memecahkan masalah. Ia mengasosiasikan suatu masalah
tertentu dengan suatu tingkah laku tertentu. Sebagai contoh : seekor kucing
yang dimasukkan dalam kandang yang terkunci akan bergerak, berjalan, meloncat,
mencakar, dan sebagainya sampai suatu ketika secara kebetulan ia menginjak
suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan kucing pun bisa
keluar. Sejak saat itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan
dalam kandang yang sama.
2.2 Definisi Teori Belajar Menurut Thordike
2.2 Definisi Teori Belajar Menurut Thordike
Pada
awalnya, pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh adanya
pengaruh dari Thorndike (1874-1949). Teori belajar Thorndike dikenal dengan
“Connectionism” (Slavin, 2000). Hal ini terjadi karena menurut pandangan
Thorndike bahwa belajar merupakan proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti
pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat indera.
Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar,
yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan / tindakan. Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu
yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun
aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat
menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.
Teori
dari Thorndike dikenal pula dengan sebutan “Trial and error” dalam menilai
respon-respon yang terdapat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan
teorinya atas hasil - hasil penelitiannya terhadap tingkah laku beberapa
binatang antara lain kucing, dan tingkah laku anak - anak dan orang dewasa.
Adapun objek penelitian yang dikaji dihadapkan pada situasi baru yang belum
dikenal dan membiarkan objek tersebut melakukan berbagai aktivitas untuk
merespon situasi itu. Dalam hal ini, objek akan bereaksi mencoba berbagai cara
untuk menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan
stimulasinya.
Sebagai contoh yaitu seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kandang yang terkunci, maka kucing tersebut akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan akhirnya kucing pun bisa keluar. Sejak saat itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.
Sebagai contoh yaitu seekor kucing yang dimasukkan ke dalam kandang yang terkunci, maka kucing tersebut akan bergerak, berjalan, meloncat, mencakar, dan sebagainya sampai suatu ketika secara kebetulan ia menginjak suatu pedal dalam kandang itu sehingga kandang itu terbuka dan akhirnya kucing pun bisa keluar. Sejak saat itulah, kucing akan langsung menginjak pedal kalau ia dimasukkan dalam kandang yang sama.
2.3 Eksperimen – Eksperimen Thorndike
Bentuk
belajar yang khas pada hewan maupun manusia oleh Thorndike disifatkan sebagai
trial and error atau learning by selecting and connecting. Organism ( pelajar,
dalam eksperimen dipergunakan hewan juga ) dihadapkan kepada situasi yang
mengandung problem untuk dipecahkan; pelajar harus mencapai tujuan. Pelajar
akan memilih respon yang tepat diantara berbagai respon yang mungkin dilakukan.
Pada
mulanya, model eksperimen Thorndike yaitu dengan mempergunakan kucing sebagai
subjek dalam eksperimennya. Eksperimennya yang khas adalah dengan kucing,
dipilih yang masih muda yang kebiasaan – kebiasaannya masih belum kaku,
dibiarkan lapar, lalu dimasukkan ke dalam kurungan yang disebut sebagai
“problem box”. Dengan konstruksi pintu kurungan yang dibuat sedemikian rupa,
sehingga kalau kucing menyentuh tombol tertentu, maka pintu kurungan akan
terbuka dan akhirnya kucing dapat keluar dan mancapai makanan ( daging ) yang
ditempatkan di luar kurungan sebagai hadiah atau daya penarik bagi kucing yang
lapar tersebut.
Pada
usaha ( trial ) yang pertama kucing itu melakukan bermacam – macam gerakan yang
kurang relevan bagi pemecahan masalah, misalnya mencakar, menubruk, dan
sebagainya, sampai kemudian menyentuh tombol dan pintu terbuka. Adapun waktu
yang dibutuhkan dalam usaha yang pertama berlangsung lama. Namun, ketika
percobaan tersebut telah dilakukan secara berulang – ulang, maka waktu yang
dibutuhkan akan semakin singkat. Thordike menafsirkan bahwa “kucing itu
sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi dia
belajar mencamkan ( mempertahankan ) respon – respon yang benar dan
menghilangkan atau meninggalkan respon – respon yang salah.”
Eksperimen
Thorndike tersebut mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf insansi
( human ). Dia yakin bertentangan dengan kepaercayaan umum bahwa tingkah laku
hewan sedikit sekali dipimpin oleh pengertian. Dengan tidak menyatakan secara
eksplisit menolak kemungkinan adanya pengertian pada hewan, dia yakin bahwa
masalah belajar pada hewan dapat diterangkan sebagai hubungan langsung antara
situasi dan perbuatan., tanpa diantarai oleh pengertian. Dengan hal tersebut
memberikan keyakinan kepada Thorndike bahwa hal – hal yang menjadi dasar proses
belajar pada hewan dan pada manusia adalah sama saja.
2.4 Ciri – Ciri Belajar Menurut Thorndike
Adapun beberapa ciri – ciri belajat menurut Thorndike,
antara lain :
1. Ada motif pendorong aktivitas
2. Ada berbagai respon terhadap
sesuatu.
3. Ada aliminasi respon - respon
yang gagal atau salah
4. Ada kemajuan reaksi – reaksi
mencapai tujuan dari penelitiannya itu.
2.5 Thorndike sebelum 1930,
Pemikiran
Thorndike tentang proses belajar dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama
adalah pemikiran sebelum tahun 1930 dan kedua adalah pasca 1930.
Hukum - Hukum yang digunakan Edward
Lee Thorndike:
Thorndike menyatakan bahwa belajar
pada hewan maupun manusia berlangsung berdasarkan tiga macam hukum pokok
belajar, yaitu :
1.
Hukum kesiapan ( Law of readiness )
Law of readiness adalah prinsip tambahan yang
menggambarkan taraf fisiologis bagi law of effect. Hukum ini menunjukkan
keadaan – keadaan dimana pelajar cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau ketidakpuasan,
menerima atau menolak sesuatu.
Menurut Thorndike ada tiga keadaan yang demikian itu,
yaitu :
a. Kalau suatu unit konduksi sudah siap untuk berkonduksi, maka konduksi
dengan unit tersebut akan membawa kepuasan, dan tidak akan ada tindakan – tindakan
lagi ( yang lain ) untuk mengubah konduksi itu.
b. Unit konduksi yang sudah siap untuk berkonduksi apabila tidak
berkonduksi akan menimbulkan ketidakpuasan, dan akan menimbulkan respon –
respon yang lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidakpuasan itu.
c. Apabila unit konduksi yang tidak siap berkonduksi dipaksa untuk
berkonduksi, maka konduksi itu akan menimbulkan ketidakpuasan dan berakibat
dilakukannya tindakan – tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan
ketidakpuasan itu.
Dalam hal ini Thorndike menggunakan istilah “unit konduksi” sebenarnya tidak mempunyai arti fisiologis yang pasti. Sebab misalnya saja adalah sangat sukar dimengerti bagaimana satu unit fisiologis yang tidak siap berkonduksi dibuat berkonduksi. Karena itu untuk dapat memahami arti hukum tersebut haruslah dilakukan interpretasi. Jika istilah “unit konduksi” diganti dengan “kecenderungan bertindak” maka arti psikologis daripada law of readiness menjadi jelas. Jadi, apabila kecenderungan bertindak itu timbul karena penyesuaian diri atau hubungan dengan sekitar, karena sikap dan sebagainya, maka memenuhi kecenderungan itu di dalam tindakan akan memberikan kepuasan dan tidak memenuhi kecenderungan tersebut akan menimbulkan ketidakpuasan. Jadi, sebenarnya readiness itu adalah persiapan untuk bertindak, ready to act.
Dalam hal ini Thorndike menggunakan istilah “unit konduksi” sebenarnya tidak mempunyai arti fisiologis yang pasti. Sebab misalnya saja adalah sangat sukar dimengerti bagaimana satu unit fisiologis yang tidak siap berkonduksi dibuat berkonduksi. Karena itu untuk dapat memahami arti hukum tersebut haruslah dilakukan interpretasi. Jika istilah “unit konduksi” diganti dengan “kecenderungan bertindak” maka arti psikologis daripada law of readiness menjadi jelas. Jadi, apabila kecenderungan bertindak itu timbul karena penyesuaian diri atau hubungan dengan sekitar, karena sikap dan sebagainya, maka memenuhi kecenderungan itu di dalam tindakan akan memberikan kepuasan dan tidak memenuhi kecenderungan tersebut akan menimbulkan ketidakpuasan. Jadi, sebenarnya readiness itu adalah persiapan untuk bertindak, ready to act.
Sebagai ilustrasinya, Thorndike menggambarkan sebagai berikut :
a. Hewan mengejar mangsanya, siap untuk menerkam dan memakannya.
b. Seorang anak melihat sesuatu barang yang sangat menarik di kejauhan, siap untuk menghampirinya, memegangnya, dan mempermainkannya.
b. Seorang anak melihat sesuatu barang yang sangat menarik di kejauhan, siap untuk menghampirinya, memegangnya, dan mempermainkannya.
2.
Hukum latihan ( Law of exercise )
Law of exercise mengandung dua hal, yaitu sebagai
berikut.
a. Law of use, hubungan – hubungan atau koneksi – koneksi akan menjadi bertambah
kuat kalau ada latihan.
b. Law of disuse, hubungan – hubungan atau koneksi – koneksi akan menjadi
bertambah lemah atau terlupa kalau latihan – latihan atau penggunaan
dihentikan.
Persoalan menjadi kuat itu ditentukan oleh meningkatnya kemungkinan bahwa respons akan dilakukan apabila situasi yang demikian itu dihadapi lagi. Kemungkinan ini dalam dua bentuk, yaitu ;
Persoalan menjadi kuat itu ditentukan oleh meningkatnya kemungkinan bahwa respons akan dilakukan apabila situasi yang demikian itu dihadapi lagi. Kemungkinan ini dalam dua bentuk, yaitu ;
a. Menjadi lebih besarnya kemungkinan kalau situasi atau kejadian segera
diulangi.
b. Rendahnya kemungkinan kalau berulangnya kejadian itu berjarak lama.
Akan tetapi, keterangan tetang kekuatan dengan kemungkinan itu menjadi bahan perbantahan. Pada umumnya, orang di Amerika Serikat menolak dasar structural yang dikemukakan oleh Thorndike mengenai hubungan ( koneksi ) itu, yaitu perubahan – perubahan menjadi lebih kuat atau lebih lemahnya hubungan itu mempunyai dasar neorlogis yang terdapat pada synapsis – synanpsis. Karena keterangan tesebut mengandung kelemahan – kelemahan, maka Thorndike pada akhirnya membuat perubahan – perubahan pada hukum tersebut.
b. Rendahnya kemungkinan kalau berulangnya kejadian itu berjarak lama.
Akan tetapi, keterangan tetang kekuatan dengan kemungkinan itu menjadi bahan perbantahan. Pada umumnya, orang di Amerika Serikat menolak dasar structural yang dikemukakan oleh Thorndike mengenai hubungan ( koneksi ) itu, yaitu perubahan – perubahan menjadi lebih kuat atau lebih lemahnya hubungan itu mempunyai dasar neorlogis yang terdapat pada synapsis – synanpsis. Karena keterangan tesebut mengandung kelemahan – kelemahan, maka Thorndike pada akhirnya membuat perubahan – perubahan pada hukum tersebut.
3.
Hukum efek ( Lae of effect )
Law of effect menunjukkan kepada makin kuat atau makin
lemahnya hubungan sebagai akibat daripada hasil respons yang dilakukan. Apabila
suatu hubungan atau koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang
memuaskan, maka kekuatan hubungan itu akan bertambah, sebaliknya apabila suatu
koneksi dibuat dan disertai atau diikuti oleh keadaan yang tidak memuaskan,
maka kekuatan hubungan itu akan berkurang.
Perumusan hukum efek banyak menerima kritikan. Pada
pokoknya, ada dua keberatan yang diajukan terhadap hukum efek tersebut, yaitu :
a. Kepuasan dan ketidakpuasan adalah masalah subjektif, jadi tidaklah tepat
untuk menggambarkan tingkah laku hewan.
b. Pengaruh ( effect ) daripada apa yang dialami atau terjadi di masa
lampau yamg dirasakan kini tidak dapat diterima, sebab apa yang lampau adalah
sudah lampau dan pengaruhnya tidak dapat dirasakan.
Perumusan Thorndike banyak mengandung kelemahan –
kelamahan. Jika dikatakan dengan sederhana yang dimaksud Thorndike adalah :
Hadiah atau sukses akan berakibat dilanjutkannya atau diulanginya perbuatan
yang membawa hadiah atau sukses itu, sedang hukuman atau kegagalan akan
mengurangi kecenderungan untuk mempertahankan atau mengulangi tingkah laku yang
membawa hukuman atau kegagalan itu.
Selain hukum pokok belajar tersebut di atas, masih terdapat hukum subside atau hukum – hukum minor, yaitu :
a. Law of multiple response
Supaya sesuatu respons itu memperoleh hadiah atau
berhasil, maka respons itu harus terjadi. Apabila individu dihadapkan pada
sesuatu soal, maka dia akan mencoba – coba berbagai cara; apabila tingkah laku yang
tepat ( yakni yang membawa penyelesaian atau berhasil ) dilakukan maka sukses
terjadi, dan proses belajar pun terjadi. Hal tersebut akan berlaku sebaliknya.
b. Law of attitude ( law of set, law odf disposition )
Respons – respons apa yang dilakukan oleh individu itu
ditentukan oleh cara penyelesaian individu yang khas dalam menghadapi
lingkungan kebudayaan tertentu. Sikap ( attitude ) tidak hanya menentukan apa
yang akan dikerjakan oleh seseorang tetapi juga cara yang kiranya akan
memuaskan atau tidak memuaskan baginya.
c. Law of partial activity ( law of prepotency element )
c. Law of partial activity ( law of prepotency element )
Pelajar atau organism dapat bereaksi secara selektif
terhadap kemungkinan – kemungkinan yang ada dalam situasi tertentu. Manusia
dapat memilih hal – hal yang pokok dan mendasarkan tingkah lakunya kepada hal –
hal yang pokok itu serta meninggalkan hal – hal yang berkecil – kecil.
d. Law of response by analogy ( law of assimilation )
Orang bereaksi terhadap situasi yang baru sebagaimana
dia bereaksi terhadap situasi yang mirip dengan itu yang dihadapinya di waktu
yang lalu, atau dia bereaksi terhadap hal atau unsur tertentu dalam situasi
yang telah berulang kali dihadapinya. Jadi, respons – respons selalu dapat
diterangkan dengan apa yang telah pernah dikenalnya, dengan kecenderungan asli
yang berespons.
e. Law of assosiative shifting
Apabila suatu respons dapat dipertahankan berlaku
dalam serangkaian perubahan – perubahan bahan dalam situasi yang merangsang,
maka respons itu akhirnya dapat diberikan kepada situasi yang sama sekali baru.
2.6 Thorndike pasca 1930,
Teori
Thorndike masih tetap ada sampai tahun 1930. Namun, dengan berkembang dan
munculnya aliran – aliran yang lain, maka mulailah bermunculan kritik mengenai
teori yang telah dikemukakan oleh Thorndike. Para ahli mengemukakan bahwa teori
Thorndike tidak seluruhnya benar, terutama dengan berbagai eksperimennya yang
menunjukkan adanya kelemahan tentang teori tersebut.
Adapun revisi hukum – hukum dasarnya
dituliskan dalam berbagai majalah, yang hasil – hasil pokoknya dituliskan dalam
dua buah buku, yaitu :
1. The fundamentals of learning (
1935 ), dan
2. The psychology of wants, interest
and attitudes ( 1935 ).
Berikut adalah revisi pendapat yang
dikemukakan, yaitu :
a. Law of readiness (hukum kesiapan)
boleh dikata tak diubah sama sekali.
b. Law of exercise (hukum latihan atau penggunaan) praktis diubah sama sekali.
Ketidakbenaran atau ketidakpastian law of exercise ditunjukkan dengan eksperimen. Adapun eksperimen yang menunjukkan kelemahan yaitu “ulangan yang berlangsung dalam keadaan di mana law of effect itu tidak bekerja.” Misalnya : berulang – ulang membuat garis yang panjangnya 10 cm tanpa mengetahui garis yang dibuatnya itu terlalu pendek atau terlalu panjang.
Jadi, ulangan itu an sich tidaklah menghasilkan apa – apa; ulangan hanya membawa hasil kalau ada faktor lain yang bekerja yang menyebabkan ulangan itu efektif ( berhasil ). Misalnya dalam contoh di atas : jika sekiranya subjek tahu garis yang telah dibuatnya itu terlalu panjang atau terlalu pendek, maka tentulah usaha yang berikutnya akan lebih berhasil ( lebih baik hasilnya ).
b. Law of exercise (hukum latihan atau penggunaan) praktis diubah sama sekali.
Ketidakbenaran atau ketidakpastian law of exercise ditunjukkan dengan eksperimen. Adapun eksperimen yang menunjukkan kelemahan yaitu “ulangan yang berlangsung dalam keadaan di mana law of effect itu tidak bekerja.” Misalnya : berulang – ulang membuat garis yang panjangnya 10 cm tanpa mengetahui garis yang dibuatnya itu terlalu pendek atau terlalu panjang.
Jadi, ulangan itu an sich tidaklah menghasilkan apa – apa; ulangan hanya membawa hasil kalau ada faktor lain yang bekerja yang menyebabkan ulangan itu efektif ( berhasil ). Misalnya dalam contoh di atas : jika sekiranya subjek tahu garis yang telah dibuatnya itu terlalu panjang atau terlalu pendek, maka tentulah usaha yang berikutnya akan lebih berhasil ( lebih baik hasilnya ).
Kesimpulan :
Jadi, sebenarnya law of exercise itu tidak seluruhnya dibuang. Ulangan akan membawa hasil kalau diikuti atau disertai reward atau punishment ( feedback ) bukan hanya karena diulang semata – mata.
c. Perubahan law of effect (hukum efek)
Jadi, sebenarnya law of exercise itu tidak seluruhnya dibuang. Ulangan akan membawa hasil kalau diikuti atau disertai reward atau punishment ( feedback ) bukan hanya karena diulang semata – mata.
c. Perubahan law of effect (hukum efek)
Sejumlah
eksperimen menunjukkan bahwa pengaruh ( effect ) hadiah dan hukuman tidak
bertentangan lurus seperti apa yang dikemukakan lebih dahulu, yaitu pengaruh
hadiah memuaskan dan pengaruh hukuman tidak memuaskan, serta besarnya kepuasan
dan ketidakpuasan itu sama atau sebanding, tetapi ternyata bahwa dalam keadaan
di mana aksi simetris mungkin dilakukan hadiah nampaknya lebih kuat pengaruhnya
daripada hukuman.
Salah satu eksperimen mengenai ini ialah dengan ayam. Suatu labirin yang sederhana dengan dua jalan pilihan, yaitu :
Salah satu eksperimen mengenai ini ialah dengan ayam. Suatu labirin yang sederhana dengan dua jalan pilihan, yaitu :
1). Pilihan pertama menuju ke
kebebasan, dan berkumpul dengan teman – temannya serta mendapatkan makanan (
hadiah ).
2). Pilihan kedua kembali kekurangan
lagi ( hukuman ).
Dengan statistic diperhitungkan
kecenderungan untuk mngulangi pilihan yang membawa dhadiah dan menghindari
pilihan yang memberikan hukuman.
Dan
kesimpulan Thorndike ialah :
Hasil dari
semua perbandingan dari berbagai cara itu sama saja, yaitu : Connection yang
membawa hadiah selalu bertambah kuat, sedangkan connection yang membawa hukuman
hanya sedikit saja bertambah lemah.
d. Belongingness
d. Belongingness
Thorndike
mengamati bahwa dalam proses belajar asosiasi ada faktor selain kontinguitas
dan hukum efek. Jika kontinguitas adalah satu- satunya faktor yang memengaruhi,
semua urutan kata itu seharusnya dikuasai dan diingat dengan baik. Tetapi
kenyataannya tidak demikian. Rata- rata asosiasi yang benar dari ujung satu
kalimat ke awal kalimat berikutnya adalah 2,75; sedangkan rata- rata jumlah
asosiasi yang benar antara kombinasi kata pertama dan kedua adalah 21,50.
Jelas, ada sesuatu yang beroperasi selain kontiguitas, dan sesuatu itu oleh
Thorndike dinamakan belongingness, artinya sifat- sifat suatu item yang dalam
kasus ini subyek dan kata kerja yang erat hubungannya dengan atau menjadi
bagian integral dari item yang lain.
Dengan
konsep belongingness ini, Thorndike berpendapat bahwa jika ada hubungan yang
natural antara keadaan yang dibutuhkan organisme dengan efek yang ditimbulkan
suatu respon maka proses belajar akan lebih efektif ketimbang jika hubungan itu
tidak alamiah.
Maka kita
melihat bahwa Thorndike menggunakan konsep belongingness dalam dua cara.
Pertama, dia menggunakannya untuk menjelaskan mengapa ketika mempelajari materi
verbal seseorang akan cenderung mengorganisasikan apa- apa yang dipelajarinya
dalam unit- unit yang dianggap masuk dalam golongan yang sama. Kedua, Thorndike
mengatakan bahwa jika efek- efek yang dihasilkan oleh suatu respon yang terkait
dengan kebutuhan organisme, proses belajar akan lebih efektif ketimbang efek
yang dihasilkan itu tidak terkait dengan kebutuhan organisme.
e. Penyebaran Efek
Sesudah
tahun 1930, Thorndike menambahkan konsep teoritis lainnya, yang disebutnya
sebagai spread of effect ( Penyebaran Efek ). Semala eksperimennya, Thorndike
secara tak sengaja menemukan bahwa keadaan yang memuaskan tidak hanya menambah
probabilitas terulangnya respon yang menghasilkan keadaan yang memuaskan
tersebut tetapi juga meningkatkan probabilitas terulangnya respon yang
mengitari respons yang memperkuat itu.
Salah asatu
eksperimen yang menunjukkan efek ini adalah eksperimen yang menghadirkan
sepuluh kata, seperti catnip, debate, dan dazzle, kepada partisipan yang diberi
instruksi untuk merespon dengan angka dari 1 sampai 10. Jika partisipan
merespon satu angka dengan angka yang sebelumnya yang telah ditentukan oleh
eksperimenter, eksperimenter akan berkata “ benar “. Dan jika subyek merespon
dengan angka yang berbeda dengan angka yang telah ditetapkan, maka
eksperimenter berkata “Salah“.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
3.1 Kesimpulan :
Dari
berbagai uraian yang telah disampaikan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa menurut
pandangan Thorndike bahwa belajar merupakan proses interaksi antara stimulus
dan respon. Stimulus adalah apa yang merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan, atau hal-hal lain yang dapat ditangkap melalui alat
indera. Sedangkan respon adalah reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang dapat pula berupa pikiran, perasaan, atau gerakan / tindakan.
Jadi
perubahan tingkah laku akibat kegiatan belajar dapat berwujud konkrit, yaitu
yang dapat diamati, atau tidak konkrit yaitu yang tidak dapat diamati. Meskipun
aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, tetapi tidak dapat
menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati.
Teori yang
dikemukakan Thorndike dikenal dengan teori S-R. Dalam teori S-R dikatakan bahwa
dalam proses belajar, pertama kali organisme (Hewan, Orang) belajar dengan cara
coba salah (Trial end error). Thorndike menyatakan bahwa belajar pada hewan
maupun manusia berlangsung berdasarkan tiga macam hukum pokok belajar, yaitu :
hukum kesiapan, hukum latihan, dan hukum efek.
DAFTAR PUSTAKA
Boeree,George, 2005, Sejarah Psikologi, Jakatra: Prima Shopie
Soemanto, Wasty, 1998, Psikologi Pendidikan,
Jakarta: Rineka Cipta
Wirawan, Sartito, 2006, Berkenalan dengan
Aliran-aliran dan Tokoh-Tokoh Psikologi, Jakarta: Bulan Bintang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar