Tunagrahita adalah anak yang mengalami
hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental yang memiliki intelektual jauh
dibawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan dalam tugas akademik, komunikasi
maupun sosial.
Bimbingan pengembangan perilaku adaptif
siswa tunagrahita di sekolah tingkat sekolah dasar atau sekolah reguler dengan
pendekatan inklusi merupakan bimbingan pribadi- sosial dan konselingnya
bersifat perseorangan. Konseling terhadap siswa tunagrahita dilakukan karena
mereka banyak mengalami gangguan- gangguan emosional disebabkan oleh kondisi sosial
yang negatif, disamping mereka sendiri tidak mampu melakukan komunikasi secara
verbal (Bootzin, R. R. & Acocella, J. R., 1988: 485). Layanan konseling
perorangan memungkinkan peserta didik tunagrahita mendapatkan layanan langsung
oleh guru kelas selaku konselor. Bentuk bimbingan dan konseling terhadap siswa
tunagrahita di sekolah perlu adanya penyesuaian yang berdasarkan atas
karakteristik khusus, kebutuhan setiap siswa, tujuan dan sasaran, serta aspek
perkembangan pribadi- sosial.
Tujuan bimbingan pengembangan prilaku
non- adaptif siswa tunagrahita di tingkat sekolah dasar, antara lain:
a.
Membantu siswa tunagrahita agar secara
sosio- emosional dapat melalui masa transisi dari lingkungan sekolah taman
kanak- kanak/ lingkungan keluarga ke lingkungan sekolah dasar.
b.
Membantu siswa tunagrahita agar dapat
mengatasi kesulitan yang dihadapinya, baik dalam kegiatan belajar maupun
pendidikan pada umumnya.
c.
Membantu siswa tunagrahita dalam upaya
untuk mampu memahami keadaan dirinya dan lingkungan hidupnya (kelebihan,
kekurangan, dan kelainan yang ia sandang).
d.
Membantu orang tua siswa yang
bersangkutan dalam memahami anaknya sebagai makhluk individual maupun makhluk
sosial, serta kebutuhan- kebutuhannya.
Sasaran
layanan bimbingan pengembangan prilaku non- adaptif di sekolah yang menangani
siswa tunagrahita meliputi:
a.
Bimbingan ditujukan kepada semua
individu yang berkelainan tanpa memandang umur, suku, agama, dan status sosial
ekonomi.
b.
Bimbingan berurusan dengan pribadi yang
berkelainan serta unik.
c.
Bimbingan memperhatikan sepenuhnya
terhadap tahap dan berbagai aspek perkembangan individu yang berkelainan,
sehingga dapat mengembangkan seluruh potensi dan kekuatan yang dimiliki
individu siswa tunagrahita.
d.
Bimbingan memberikan perhatian utama
kepada perbedaan individu yang berkelainan yang menjadi pokok layanannya.
Program
layanan bimbingan pengembangan prilaku non- adaptif di sekolah yang menangani
siswa tunagrahita merupakan bagian integral dari pendidikan itu sendiri dan
sebagai pengembangan kompetensi individu semaksimal dan seoptimal mungkin
melalui pemberian aktivitas di kelas dan di luar kelas. Pola bimbingannya
merupakan aplikasi fungsi dan peran bimbingan secara terpadu ke dalam program
pembelajaran. Aplikasi fungsi dan peran bimbingan perlu disesuaikan dengan karakteristik
siswa tunagrahita yang bersangkutan, yaitu adanya deviasi paad aspek mental/
sosial, fisik, intelektual, dan emosional. (Hadis, A., 2000: 292- 293).
Konseling
perkembangan bersifat preventif yang berorientasi pada pendidikan tidak kepada
bentuk- bentuk remedial (Blocher, 1966 dalam Gumaer, J., 1984: 6), dan
direncanakan khusus agar dapat membantu siswa tunagrahita untuk dapat menyadari
akan keberadaan diri serta kemampuan yang dimilikinya, sehingga melalui
konseling perkembangan ini siswa tunagrahita dapat meningkatkan potensi diri
sesuai dengan kemampuan fungsional yang dimilikinya (Gumaer, J., 1984: 5-6).
Fokus
konseling perkembangan menurut Dinkmayer tertuju pada usaha- usaha memberikan
bantuan kepada setiap individu untuk dapat memahami keberadaan dirinya.
Konselor harus mampu memahami perkembangan anak, sosial, emosional, dan pola
belajar anak yang menjadi kliennya (Gumaer, J., 1984: 6).
Adapun
fungsi bimbingan dan konseling di sekolah yang menangani siswa tunagrahita,
antara lain:
1.
Fungsi pemahaman pengembangan, yaitu
fungsi bimbingan konseling yang akan menghasilkan pemahaman tentang sesuatu,
sesuai dengan keperluan perkembangan peserta didik;
2.
Fungsi pencegahan, yaitu fungsi
bimbingan konseling yang akan menghasilkan upaya- upaya agar peserta didik
terhindar dari berbagai permasalahan yang dapat mengganggu, menghambat, ataupun
dapat menimbulkan kesulitan dalam proses perkembangan diri;
3.
Fungsi perbaikan, yaitu bimbingan
konseling yang dapat mengatasi berbagai permasalahan yang dialami peserta
didik;
4.
Fungsi pemeliharaan, yaitu upaya- upaya
agar dapat memelihara dan mengembangkan berbagai potensi dan kondisi positif
dari setiap peserta didik dalam rangka perkembangan diri secara mantap dan
berkelanjutan.
Selain
pendekatan perkembangan, pelaksanaan layanan bimbingan konseling di sekolah
perlu dilakukan melalui pendekatan secara terpadu dengan seluruh kegiatan
pendidikan yang ada di sekolah (dalam kurikulum, maupun ekstra kurikuler).
Menurut
Natawidjaya, R. (1984: 123) bahwa kegiatan bimbingan yang dilakukan guru dalam
proses belajar mengajar secara umum dapat dikelompokkan menjadi:
(1) Mengenal
dan memahami siswa secara mendalam,
(2) Memperlakukan
siswa berdasarkan perbedaan individual,
(3) Memperlakukan
siswa secara manusiawi,
(4) Mamberi
kemudahan kepada siswa- siswa untuk mengembangkan diri secara optimal,
(5) Memelihara
suasana kelas supaya tetap menyenangkan bagi siswa.
Adapun indikator dalam menelaah
penerapan peran bimbingan oleh guru dalam proses belajar- mengajar menurut Natawidjaya,
R. (1984: 124), diantaranya sebagai berikut:
1.
Mengembangkan iklim kelas yang bebas
dari ketegangan dan yang bersuasana membantu perkembangan siswa.
2.
Memberikan pengarahan/ orientasi dalam
rangka belajar yang efektif, baik secara khususdalam bidang yang diajarkannya,
maupun secara umum dalam keseluruhan persekolahan.
3.
Mempelajari dan menelaah siswa untuk
menemukan kekuatan, kelemahan, kebiasaan, dan kesulitan yang dihadapinya,
terutama dalam hubungannya dengan bidang studi yang diajarkannya.
4.
Penyuluhan tak resmi kepada siswa yang
menghadapi kesulitan tertentu, terutama dalam hubungannya dengan bidang studi
yang diajarkannya.
5.
Menyajikan informasi tentang masalah
pendidikan dan jabatan guru, dalam memberikan pelajaran dapat memadukan
berbagai informasi yang sangat berguna bagi siswa, dalam hal ini perencanaan
kelanjutan belajar dan perencanaan pekerjaan setelah lulus dari sekolah yang
bersangkutan, dll.
Teknik
bimbingan pengembangan prilaku non- adaptif dapat diterapkan dengan:
1.
Teknik
direktif, berupa layanan bimbingan yang inisiatifnya
sebagian besar datang dari konselor, dalam hal ini guru pendidikan luar biasa.
Dalam pelaksanaannya, penggunaan pola persuasif sangat memegang peran penting
untuk merubah sikap dan prilaku salah suai siswa. (Heesacker, M., et. Al. 1995:
611);
2.
Teknik
non- direktif, seluruh inisiatif bimbingan konseling
muncul dari siswa yang bersangkutan;
3.
Teknik
eklektik, yaitu layanan bimbingan konseling yang memadukan
teknik direktif dan non- direktif. Pemilihan teknik tersebut oleh konselor
bergantung kepada kriteria sebagai berikut:
a. Sifat
masalah yang dihadapi,
b. Jumlah
peserta didik yang akan dibimbing,
c. Kondisi
penyuluh atau petugas bimbingan konseling.
Agar
pencapaian sasaran bimbingan pengembangan prilaku adaptif dapat terwujud dengan
baik diperlukan kegiatan pendukung bimbingan, meliputi:
(1) Aplikasi
instrumen bimbingan pribadi-sosial, meliputi kegiatan pengungkapan dan
pengumpulan data berkaitan dengan kemampuan dan kondisi lingkungan sosial
siswa, berupa kemampuan berkomunikasi, menerima dan menyampaikan pendapat,
kemampuan berprilaku dan berhubungan sosial, hubungan dengan teman sebaya, dll.
(2) Penghimpunan
data, bermaksud mengumpulkan seluruh data dan keterangan yang relevan dengan
keperluan pengembangan siswa tunagrahita dalam berbagai aspeknya. Data yang
dihimpun merupakan hasil aplikasi instrumentasi bimbingan.
(3) Pembahasan
kasus, dilakukan secara spesifikasi untuk mengkaji permasalahan tertentu yang
dialami oleh siswa tunagrahita dalam suatu forum diskusi yang dihadiri oleh
pihak- pihak terkait, seperti konselor, wali kelas, guru bidang studi, kepala
sekolah, orang tua, dll. Pembahasan kasus bersifat terbatas dan tertutup. Dalam
pembahasan kasus dibicarakan berbagai permasalahan yang dialami oleh siswa
tunagrahita yang bersangkutan.
4.
Teknik
akhir, merupakan suatu pernyataan transformasi kedalam
atau keluar dari suatu situasi pura- pura atau membatasi suatu peran, misalnya:
“Ini adalah kereta api” sambil menunjukkan ke sebuah sofa sebagai pernyataan.
(4) Kunjungan
rumah, mempunyai dua tujuan yaitu:
(a) Memperoleh
berbagai keterangan yang diperlukan dalam pemahaman lingkungan dan permasalahan
siswa tunagrahita;
(b) Pembahasan
dan penyelesaian masalah siswa yang bersangkutan. Kegiatannya bersifat
pengamatan dan wawancara.
Alih tangan kasus, dalam
bimbingan pribadi-sosial siswa tunagrahita dimaksudkan sebagai upaya
mengalihtangankan kasus khusus dari siswa yang bersangkutan oleh: guru, wali
kelas, orang tua, dan staf sekolah lainnya kepada konselor atau guru pembimbing
khusus. Selanjutnya konselor dapat melanjutkan alih tangan kasus siswa
tunagrahita yang bermasalah secara bersama antara pembimbing dengan siswa yang
bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar